Langsung ke konten utama

“Politik itu Kotor”

Quote John F. Kennedy, image source: QuoteFancy

Saya nonton YouTube Abdel Achrian, bintang tamunya Dede Sunadar dengan outfit kemeja putih plus dasi merah, dibalut jas hitam. Persis seperti yang sering dikenakan Pak Jokowi. Ketika ditanya Abdel, mengapa dandanannya kayak gitu? Dijawab Dede, mempersiapkan buat pelantikan sebagai anggota dewan, nantinya.

Dede nyaleg dapil 5 Bekasi Barat meliputi Kotif Jakarta Selatan, sudah mengumpulkan 13 ribu KTP warga 10 kelurahan dengan timses 2 orang di tiap kelurahan. Berarti timsesnya ada 20 orang. Jika 20 orang timses itu milih Dede, maka Dede paling tidak dapat 20 suara. Tetapi, kenyataannya Dede kok bisanya hanya dapat 11 suara.

Pertanyaannya, yang 9 orang timses itu milih siapa atau betul-betul bekerja jadi timsesnya Dede atau tidak? Padahal, setiap road show ke warga masyarakat, Dede paling tidak berinteraksi dengan 100—150 orang. Heran dan mustahil jadinya, dari ratusan orang warga yang bertatap muka itu, kok tidak ada yang memilih Dede.

Masalah modal yang dikeluarkannya, menurut Dede, setara 2 mobil. Artinya, ratusan juta atau paling tidak setengah M. Maka, karena cuma meraih 11 suara, betapa tidak setimpal antara modal yang keluar dengan suara yang diraih. Terang saja Dede bengong berhari-hari sesudah menemui kenyataan yang di luar ekspektasi.

Kepada Abdel, Dede mengaku, sempat bengong paling tidak tiga jam saban hari. Itu menunjukkan Dede dihinggapi perasaan trauma karena gagal nyaleg. Karena itu, lebih jauh Dede mengaku seperti kapok bila di masa datang hendak kembali coba-coba nyaleg. Kalaupun masih mungkin, ia akan memperbaiki strategi waktu kampanye.

Dari omon-omon Dede dengan Abdel, sekilas tersirat bahwa Dede yang merupakan warga Bekasi, tetapi oleh partai yang menanunginya diberi dapil Jakarta Selatan. Ketidaktepatan tempat bermukim dengan dapil sewaktu nyaleg, mengindikasikan bahwa Dede tidak dikenal di dapil tersebut, sehingga perolehan suaranya 11.


Dan, ketika dipancing Abdel, dari apa yang dialaminya sendiri, apakah Dede menganggap bahwa politik itu kotor? Dengan tanpa ragu dan tegas, Dede membenarkan. Maka, sebutan “politik itu kotor” bukanlah sekadar ungkapan sarkasme, melainkan bisa ditelusur “barang buktinya” banyak anggota dewan akhirnya dipenjara.

Meskipun faktanya demikian, bukan politiknya yang kotor, melainkan individu yang terlibat dalam kegiatan politik itu. Politik berasal dari bahasa Yunani, politikos yang artinya dari dan untuk warga negara. Aristotales mengatakan, “Politik merupakan kegiatan yang luhur karena hakikatnya untuk kesejahteraan rakyat.”

Machiavelli mengarang buku “I’ll Principe” berpendapat, Politik merupakan tindakan mencapai kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan politik itu, adalah kumpulan individu yang punya uang, kuasa, dan pengaruh. Karena menghalalkan segala cara akhirnya dipenjara.

Dari beberapa kawan yang nyaleg di Bandar Lampung, yang antara tempat bermukim tidak cucok dengan dapil, faktanya memang perolehan suaranya zonk. Padahal, modal money politics yang dikeluarkan lumayan banyak. Artinya, antara modal yang digelontorkan dengan hasil suara yang diraih tidak selalu berbanding lurus.

Apalagi kalau di dapil tersebut ada incumbent yang lebih dikenal oleh warga dan selama ini warga sudah merasakan hasil kerjanya sebagai “wakil rakyat” tentu lebih mudah meyakinkan warga untuk kembali memilih mereka. Seperti itu kan merupakan fenomena yang sudah bisa dijadikan pertimbangan bagi yang baru nyaleg.

Alhasil, antara Dede Sunandar dengan Alfiansyah Bustami alias Komeng Uhuy, meskipun sama-sama pesohor, peruntungan mereka tidak serta merta sama pula. Dari segi jalur yang ditempuh pun beda. Dede calon anggota DPRD Kota Bekasi sementara si Komeng Uhuy calon anggota DPD Jabar. Dan, perbedaan hasilnya mencengangkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...