Langsung ke konten utama

Kardus Kosong Cucu


Sepagi ini, tepat di pertengahan Ramadan, notifikasi di WAG RT menggelitik untuk dibuka. Dua anggota WAG meng-share link facebook, cuplikan video berisi cerita tentang mudik berlebaran ke kampung halaman dan tentang seorang ibu, “sumur berkah” anak-anaknya.

Satu video menggambarkan keluarga muda memiliki satu orang putra, si putra rindu sekali mudik ke rumah neneknya, ia terlihat gembira dan sibuk keluar masuk rumah menenteng kardus seolah membawakan oleh-oleh buat si nenek, padahal kardus itu kosong belaka.

Mengapa kardus kosong? Karena keluarga muda itu masih belum mapan. Ini menggambarkan bahwa tidak mesti setiap orang yang merantau ke kota itu niscaya bakal berhasil dan menemukan kemapanan. Gambaran yang memukau orang untuk merantau.

Setelah keluarga muda itu sampai di kampung dan disambut sang nenek, nenek merasa aneh kardus yang disambutnya dari tangan sang cucu kok terasa enteng. Keanehan itu terekspresi pada keheranan di wajah nenek yang tidak bisa dia sembunyikan.

Sambil mengurut kaki ibunya, ayah si cucu meminta maaf karena belum bisa membawa oleh-oleh. “Tidak apa-apa, anakku. Rasa rindu kalian itu adalah oleh-oleh berharga bagi ibu.” Begitulah ibu kita, si “tukang pendam perasaan, seorang pemain sandiwara ulung.”

Satu video lainnya, berisi narasi betapa tidak memiliki arti baju lebaran yang bagus berharga mahal yang kita kenakan, betapa tidak bermaknanya lebaran yang meriah, betapa kurang sempurna hari raya. Mengapa begitu? Karena tanpa sosok ibu di samping kita.

Pesan moral dari video pertama adalah rasa rindu dan perhatian kepada ibu kita di kampung halaman dan kepulangan kita di hari raya, yang lebih mereka tunggu ketimbang berkardus-kardus oleh-oleh yang walaupun memberatkan kita, tetapi tetap kita paksakan juga.

Pesan moral dari video kedua adalah jika ibu sudah tiada, maka hilang sudah sumur berkah yang bisa kita timba. Hilang sudah segala euforia yang menghias hari raya kita yang kita anggap begitu bermakna. Padahal, hanya anggapan buat menghibur diri belaka.

Sejatinya, kardus kosong cucu tidak menjadi obat mustajab bagi kerinduan ibu kita yang setiap bakda salatnya melangitkan doa bagi kesejahteraan anak cucunya. Kehadiran kita di sampingnyalah yang lebih mengobati rasa rindunya. Jikalau ibu masih ada.

Dan, obat itu terasa pahit baginya bila kita tidak bisa mudik lebaran dengan berbagai alasan yang kita sodorkan. Namun, manis baginya bila kita hadir di sampingnya di hari raya meskipun tanpa kardus oleh-oleh. Sebab kehadiran kita lebih bermakna baginya.

     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...