Katebelece


Postingan yang lalu (kemarin) ditutup dengan kata kunci 
katebelece. Postingan sore hari ini menggunakan kata kunci tersebut sebagai judul, sebagai lanjutan dari yang kemarin menjadi ending. Bukan mustahil akan berlanjut pula.

Masih adakah katebelece? Mungkin sudah tidak ada lagi. Atau ada dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi, faktanya, praktik KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) masih terjadi. Hanya saja, cara yang dilakukan tidak lagi menggunakan katebelece.

Sejak Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN diberlakukan sah, katebelece bersalin baju. Istilah lain “surat sakti” itu tidak lagi digunakan sebagai alat KKN. Dicarilah cara lain yang agak silent.

Di masa lalu, pada era Orde Baru dulu, katebelece begitu sakti mandraguna. Hubungan kekerabatan dan kedekatan personal adalah fondasi kokoh tegaknya bangunan bernama “kolusi-korupsi-nepotisme. Kurun waktu rezim Suharto berkuasa.

Proyek apa pun, di tangan seorang pejabat, bisa dibagi-bagikan ke kerabat dan kroni dekatnya. Tender hanyalah formalitas belaka. Banyak anak pejabat, kerabatnya, konco-konco dari si pejabat bersangkutan menangani proyek. Bagi hasil.

UU No.28/1999 dibuat untuk menghapus praktik KKN. Tetapi, praktik KKN di masa sekarang malah lebih masif dengan berbagai cara. Memang tidak lagi pakai katebelece, tetapi diganti menggunakan telepon. Atau paling tidak via pesan WhatsApp.

Apa jadinya kalau pejabat di pusat menelepon langsung pejabat di daerah agar diterbitkan izin bagi usaha yang akan dibuka didaerah tersebut. Bagaimana menolaknya, yang buka usaha anak si pejabat di pusat. Berani menolak KPK bertindak.

Bagaimana “Perintah Bos” lewat telepon telah menjadi kekuatan bargaining dalam hal politik. Mahkamah Konstitusi dipelesetkan netizen jadi Mahkamah Keluarga ketika mengubah batasan usia calon presiden dan calon wakil presiden.

MK ganti pemaknaan baru batas usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden. “Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan umum kepala daerah.” 

Maka, jadilah Gibran calon wakil presiden meski belum berusia 40 tahun, tetapi memenuhi kriteria “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum kepala daerah.” Karena Gibran saat ini adalah Wali Kota Surakarta (Solo).

Bagaimana “Cawe-Cawe Bos” telah menjadi alat politik dan kekuatan besar bagi pengerahan TNI dan Polri berikut ASN dari pusat hingga Kepala Desa untuk memenangkan pasangan calon tertentu dalam pemilihan presiden tahun 2024.

Bawaslu mencatat lebih dari 20 ribu anggota TNI dan Polri masuk sebagai DPT (daftar pemilih tetap) pada Pemilu tahun 2024, hal itu terjadi di 8 provinsi. Jumlah prajurit TNI 11.457 tersebar di 4 provinsi (Jabar, Aceh, Jambi, dan Lampung).

Sementara jumlah pemilih anggota Polri 9.198 (DKI Jakarta, Jabar, Nusa Tenggara Timur, Sultra, dan Maluku). Demikian dikemukakan anggota Bawaslu Lolly Suhenti dalam keterangannya seperti dikutip dari detik.com, Rabu (29/3/2024).

Jadi, netralitas TNI/Polri dan ASN dalam hajat pemilu yang baru lalu (14 Februari 2024), ternyata nihil. Pengangkangan terhadap konstitusi dan cawe-cawe telah melahirkan demokrasi yang betul-betul crazy. Edan tak ubahnya seperti ODGJ.

Okey, taruhlah dikatakan benar katebelece sudah terkubur zaman, tetapi cawe-cawe lebih dahsyat pengaruh dan daya sihirnya daripada sekadar selembar katebelecePerintah Bos langsung dan cawe-cawe, apa yang tidak-ada akan menjadi ada.

Apa yang benar menjadi tidak-benar. Apa yang sebenarnya tidak-benar menjadi benar. Semua bisa dibikin. Konstitusi saja bisa berubah hanya karena cawe-cawe dan perintah Bos. Konstitusi diperkosa, lahirlah anak haram konstitusi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan