Langsung ke konten utama

Bahasa Paling Puitis

Ketua KPU Hasyim Asy’ari saat bacakan hasil rekapitulasi pemilu 2024 (source: YouTube)

Setelah melalui proses yang panjang, teliti, dan kontroversi, akhirnya KPU resmi mengumumkan hasil rekapitulasi pemilu 2024, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Hasilnya… hah…

Seperti yang sudah “disetting” dari awal, paslon Prabowo-Gibran unggul dari Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Tidak jauh beda dari Quick Count berbagai lembaha survei rancangan Qodari cs. yang viral di media sosial.

Tuduhan pemilu curang pun muncul. Gugatan ke MK sedang dalam proses diajukan oleh kubu paslon 03 Ganjar-Mahfud dan juga kubu paslon 01 Anies-Muhaimin. Masih lama dong waktu mesti “ditunggu” Prabowo-Gibran.

Yang tidak luput dari perhatian netizen adalah gestur tubuh Ketua KPU Hasyim Asyari saat mengumumkan hasil rekapitulasi pemilu 2024. Netizen membaca gestur itu seperti ada yang disembunyikan Hasyim Asyari.

Ya, bahasa tubuh tak bisa bohong, gestur tak ingkar janji. Apa saja gesturnya? Wajahnya menunduk dengan mata berkaca-kaca, suaranya yang bergetar seperti menahan tangis, tangannya yang memegang kertas gemetar.

Saya sempat menonton sekilas ekspresi ketua KPU itu saat membacakan pengumuman hasil pemilu 2024. Saya sempat membatin, suaranya bergetar seperti membacakan ‘pernyataan’ yang bertolak belakang dengan ‘kenyataan.’

Nah, ketika di WAG beredar video saat Hasyim Asyari membacakan hasil rekapitulasi itu, eh, iya, bisa dicermati memang tiga gestur atau ekspresi seperti tersebut di atas begitu kentara membaha-sakan suara terbata-bata.

Di Hari Puisi Sedunia tanggal 21 Maret ini, saya menganggap bahasa tubuh Hasyim Asyari sebagai bahasa paling puitis. Gerakan tubuh yang berisi metafora sebagai si ‘kepala batu’ yang sedang ‘mencari muka’.

Bukankah larik-larik puisi yang indah adalah yang bermuatan metafora atau majas tertentu dengan rima menarik. Nah, bahasa tubuh Hasyim Asyari saat membacakan hasil rekapitulasi pemilu 2024, tak ubahnya puisi yang indah.


https://www.youtube.com/watch?v=oMs7TtJ45xs

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...