Pasora
![]() |
ilustrasi, warga berburu menu berbuka puasa. (foto: Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta). |
Pasora –pasar sore Ramadan– hanya muncul saat bulan Ramadan, sesuai namanya. Masing-masing daerah beda nama atau sebutan. Di Banjarmasin disebut “pasar wadai” –wadai artinya kue–. Yang dijajakan pedagang rupanya tidak hanya kue.
Ikut perkembangan, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang
menginginkan kepraktisan yang tidak mau sibuk di dapur, pasora kemudian juga menjajakan
sayur matang aneka rupa berikut bermacam pilihan lauk-pauk pemenuh selera.
Ya, kan, selera orang berbeda-beda, ada yang suka pedas ada yang nggak. Ada yang pengin berkuah ada yang
sukanya keringan. Ada yang demen bersantan
ada yang alergi sehingga mintanya kuah bening saja. Semua ada di lapak
pedagang.
Di kota Tapis Berseri –Bandar Lampung– dari barat ke timur, utara ke
selatan, ada titik-titik tempat dijadikan pasora dadakan, kais rezeki dadakan.
Dahulu di Lapangan Merah Enggal, tetapi sekarang adanya tinggal di Jl.
Majapahit.
Pasalnya, Lapangan Merah yang sempat disulap jadi Taman Gajah, kini
dipagar seng keliling untuk dibangun Masjid Al-Bakri. Penjaja menu berbuka
puasa menempati tenda di trotoar Jl. Majapahit, tidak seramai sewaktu masih berupa lapangan.
Lapangan Kalpataru, Kemiling, juga saban hari selama Ramadan dibuka
pasora. Di Pasar Rakyat Way Halim juga ada pasora, penjual berdagang di sekitar Jl.
Gunung Rajabasa Raya. Di Way Kandis, Sukarame, dan di mana-mana pun ada pasora.
Intinya, keberadaan pasora itu bagi para ibu-ibu pekerja kantoran amat
menolong. Pulang kerja tinggal mampir ke pasora yang terdekat dengan tempat
tinggalnya, belanja menu berbuka, sayur dan lauk buat makan sore
dan santap sahur.
Di Jogja disebutnya pasar tiban (tiba-tiba) sudah ada sejak tahun 1970-an,
lokasinya di Kampung Kauman. “Kampung Ramadan Jogokaryan” di tengah kampung Jogokaryan memang merupakan agenda rutin/tahunan di setiap bulan Ramadan.
Komentar
Posting Komentar