Langsung ke konten utama

Menuding Diri Sendiri

Ilustrasi. Ketika 1 jari menuding kepada orang lain, ingatlah 4 jari menuding diri sendiri. (foto: BebasNews)

“Jangan lakukan terhadap orang lain apa yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya terhadapmu.” Nasehat baik ini sudah berapa kali saya baca. Kali pertama membacanya dalam buku “Compassion: 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih” karangan Karen Armstrong, diterbitkan oleh Mizan, Bandung.

Kini, nasehat baik itu sudah diaplikasikan dalam bentuk WhatsApp Sticker, entah siapa kreatornya. Kok kepikiran, ya, menciptakan stiker itu. Sehingga bila ada orang menemukan atau mengalami sendiri indikasi perundungan dalam perbalahan di grup WhatsApp, langsung saja balas dengan stiker tersebut. Simpel.

Grup WhatsApp yang isinya kumpulan orang-orang dengan latar belakang berbeda, baik pendidikan, suku, ras, etnis, bahasa, budaya, hobi, sikap, karakter, dan sebagainya. Karena itu, dalam perbalahan di grup WhatsApp, ada orang yang selow menanggapi, tetapi ada orang yang tersulut emosi mengajak berkelahi.

Tipe orang yang pertama (selow) masuk dalam golongan orang yang superior. Sementara yang tipe kedua (emosian) masuk dalam golongan orang yang inferior. Menurut Donald Francis Shula atau lebih dikenal sebagai Don Shula, ada perbedaan mendasar antara orang tipe pertama dengan orang tipe kedua.

Menurut Don Shula, orang tipe inferior “laksana orang yang busuk tak tahu dengan baunya” atau “laksana udang tak tahu dengan bungkuknya.” Sedangkan orang tipe superior, oleh Don Shula diibaratkan “orang yang tangan menetak, bahu memikul” atau “orang yang tidak suka lempar batu sembunyi tangan.”

Don Shula bukanlah seorang filsuf atau psikolog, melainkan seorang pemain sepakbola profesional Amerika. Di sepanjang kariernya ia lewatkan dengan bermain di tujuh musim sebagai bek bertahan di National Footbal League. Kemudian menjabat sebagai pelatih kepala di NFL tahun 1963 hingga 1995.

Seorang pemain sepakbola seperti Don bisa paham mana hal yang baik dan mana hal yang buruk, tentu tidak ujug-ujug tahu, tetapi hasil belajar yang panjang melalui interaksi dengan pemain lain di klub bola yang mereka ikuti. Dari pengalaman panjang berinteraksi itu, melahirkan kebijaksanaan berpikir dan bertindak.

Apa yang dikatakan Don Shula, “The superior man blames himself, the inferior man blames others, orang yang superior menyalahkan dirinya sendiri, orang yang inferior menyalahkan orang lain.” Tabiat orang yang superior adalah mau introspeksi. Sementara orang yang inferior suka mengkambinghitamkan orang lain.

Ibarat menudingkan jari. Ketika kau tudingkan jari telunjukmu ke orang lain, sesungguhnya empat jemari menuding ke dirimu sendiri. Ketika kau timpakan kesalahan kepada orang lain, tanpa kau sadari dirimu juga sesungguhnya kecipratan bersalah. Tetapi, yang kau tuding orang lain, tak mau menuding diri sendiri.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...