Langsung ke konten utama

Hobi Entah dari Mana

Buku Bre Redana (foto: koleksi pribadi)

Seperti yang saya ungkap di cerita berjudul “Cungkup Makam Ibu” –yang sayang sekali naskahnya dibatasi 700 kata atau 5000 karakter– bahwa saya dianugerahi hobi baca, entah dari mana. Terangkum dalam buku “Terkenang Kampung Halaman – Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran”, diterbitkan Sijado Institute.

Ya, hobi baca yang menempel erat bak perangko pada saya, entah dari mana asal trah yang menurunkannya. Tahu-tahu saya gandrung aja terhadap bahan bacaan. Buku, koran, majalah, tabloid, bahkan setiap terpergok berjumpa link blog siapa pun di X (twitter) atau media sosial apa pun, akan saya terabas masuki membaca.

Pada Kompas edisi Sabtu dan Minggu, entah kolom atau feature niscaya akan saya lahap. Bahkan rubrik konsultasi psikologi semenjak zaman diampu M.A.W Brouwer tahun ‘80an hingga kini, takkan tereliminasi. Bila ada hal yang saya pandang penting mengingat bobot pembahasannya mumpuni, akan saya kliping.

Saking demen melahap bacaan di koran bikinan PK Ojong dan Jakob Oetama itu, sampai-sampai saya langganan khusus edisi Sabtu dan Minggu, faktornya karena pada edisi Sabtu ada “Halaman Sastra” dan Minggu ada cerpen dan TTS. Sastra (puisi dan cerpen) melembutkan jiwa sedangkan TTS melenturkan otak.

Siang tadi saya menerima paket buku “Menulislah Seumur Hidup” dan “Silat, Surat Minggu Bersama Guru” buah karya Bre Redana dari Akubaca, sebuah lokapasar buku di Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, Jogja. Ini kali kesekian saya beli buku dari Akubaca. Hingga bikin tulisan ini, segel plastik belum dilepas.

Segel plastik belum dilepas berarti sama saja bukunya belum mulai saya baca. Sabar… tenang… Ramadan masih panjang, ini buku lumayan buat bekal “ngabu-bookread” agar bisa “ngabu-bookwrite”. Tetapi, di Kompas Minggu tulisan Bre Redana sudah sering saya baca pada kolom/rubrik “Udar Rasa”. Rasanya sama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...