Elegi Rindu pada Ibu
![]() |
“Cungkup Makam Ibu” Zabdidi Yakub terhimpun dalam buku “Terkenang Kampung Halaman – Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran” diterbitkan Sijado Institute, Bandar Lampung, 2024. |
Pada dua postingan
sebelumnya, “Kardus Kosong Cucu” dan “Krécék Nénék” inti ceritanya sama, yaitu
seputar ihwal mudik lebaran di kampung halaman. Bagi perantau di kota, mudik di hari
raya adalah momen untuk menautkan rindu antara anak dengan orang tua. Bagi yang
sudah berkeluarga, mungkin juga melibatkan rindu cucu kepada nenek dan kakeknya.
Rindu yang selama satu tahun
dirawat, dari hari raya tahun kemarin hingga hari raya tahun ini, baik oleh
anak (juga cucu) di tanah rantau serta orang tua (ayah dan ibu) di kampung halaman,
saatnya dilebur saat mudik, sewaktu bertemu
di hari raya. Meleburkan rindu anak (juga cucu) dan orang tua (ayah dan ibu)
itu, persoalannya tidak semua orang bisa melakukannya.
Bagi yang masih memiliki orang tua, persoalan berat untuk bisa mudik adalah “waktu”. Masa cuti bersama yang tidak begitu longgar, butuh energi memikirkan mudik atau tidak. Perkara cost, tentu sudah diperhitungkan dengan cara menabung selama satu tahun. Timing juga hal yang dihitung secermat-cermatnya, –kesempatan– karena belum tentu orang tua panjang umur.
Mudik dalam konteks birrul walidain sebagaimana perintah Allah SWT dalam QS. An-Nisa 36, Al-An’am 151, Al-Isra 23 serta hadis Rasulullah SAW riwayat Bukhari dan Muslim, nilainya lebih utama daripada jihad fisabilillah. Maka, senyampang orang tua masih ada, sedapat mungkin upayakan mudik buat mengejawantahkan berjihad dengan jalan berbakti kepada orang tua.
Aforisme tentang orang tua adalah pintu surga digambarkan hadis Rasulullah SAW berikut ini, “Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian” (HR. Tirmidzi), dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.914).
Bagi yang sudah tidak
memiliki orang tua, persoalannya lain lagi. Seperti saya dan istri yang kedua
orang tua kami sudah berpulang, mudik
ke kampung halaman hitungannya hanyalah buat tetap menjalinkan ikatan tali
silaturahim kepada jiran tetangga dan kakak-adik yang berada di kampung. Selebihnya,
ya, barangkali healing ke berbagai
destinasi wisata.
Siapa pun yang sudah tidak
memiliki orang tua, kerinduan kepada mereka hanyalah tinggal elegi. Elegi rindu
pada ibu, bagi saya adalah senandung yang berdengung di relung kalbu. Bisa dikatakan
saya tidak pernah merasakan mudik
lebaran buat membasuh rindu pada ibu karena sebelum saya merantau ibu sudah
tiada. Di sepanjang waktu merantau, bagi saya rindu adalah elegi.
Karena itu, saya menulis “Cungkup
Makam Ibu” terhimpun dalam buku “Terkenang Kampung Halaman – Ingatan-Ingatan pada
Tanah Kelahiran” diterbitkan Sijado Institute, Bandar Lampung, 2024. Sebagai ekspresi
betapa hal yang membuat saya rindu kampung halaman dan pengin mudik, hanyalah cungkup makam ibu. Dan, juga destinasi wisatanya, Danau Ranau.
Komentar
Posting Komentar