Langsung ke konten utama

Edited

image source: chegos.pl

Saya punya naskah yang 2742 kata atau 19000 karakter itu, saya kirim pada 4/11 pukul 22:42. Saya tunggu apa kata admin penyelenggara nulis bersama. Hampir satu bulan, saya pikir sudah tidak perlu lagi saya edit ulang karena admin penyelenggara adalah para editor. Eh, ternyata oh ternyata, saya diminta mengedit ulang.

Tadi malam pukul 20:19 UZK mengirim pesan WA yang intinya meminta saya memendekkan tulisan menjadi hanya 700 kata atau 5000 karakter. Lah, piye, tho. Tak kiro sampeyan para admin penyelenggara cum editor yang akan mengeditnya sendiri. Yo, wes. Ngeciki bala uji wong Palembang, laju bae saya mengedit ulang.

Saya hidupkan laptop lalu membaca sekilas bagian yang bersesuaian dengan judul tulisan. Mulai delete kata demi kata dan kalimat yang tidak perlu bahkan paragraf yang tidak usah ada dong deh. Lumayan sulit mengepaskannya menjadi 5000 karakter. Alhasil bisa akan tetapi. Ujungnya jalan cerita jadi memendek.

Setelah selesai, saya cek dan cocokkan, 5000 karakter itu 714 kata. Langsung kirim di 22:18. Dan, langsung kirim pesan WA ke UZK bahwa naskah sudah edited dan siap dikirim ke email admin penyelenggara. Baru pukul 00:06 UZK membalas. “Siap. Nerima nihan,” balasnya. Balasan baru saya baca pukul 05:34 pagi.

Di WAG ada yang tidak sabar, tanya kapan bukunya jadi. “Tunggu,” jawab yang lain. Nah, setelah satu bulan naskah saya masuk, saya juga yang memendekkannya, ya, kapan dong bukunya jadi. Masih tangeh, prosesnya kan di-layout dulu, dibuat desain cover dan dikontestasi pilih yang mana? urus ISBN. Yuuhhuuhh… Suwe, Rek.

Masih panjang perjalanan buku antologi “Terkenang Kampung Halaman: Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran” akan jadi dan launching seperti keinginan sekian kawan yang, katanya sekalian pulang kampung, mulang tiyuh, reuni or ketemuan sama sohib setelah sekian abad. Baik, mari kita sama-sama menunggu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...