Langsung ke konten utama

“Bakar-bakaran” Tahun Baru

Bakar jagung, jagung bakar. Salah satu yang orang lakukan di malam tahun baru. (Image credit: Pinterest)

Merayakan malam pergantian tahun atau malam tahun baru itu apa hukumnya selalu jadi perdebatan. Saya tidak mau membahas hal itu. Yang saya ingin tulis di sini adalah tentang “bakar-bakaran” yang kerap warga lakukan sebagai pengisi acara malam pergantian tahun atau malam tahun baru tersebut.

“Bakar-bakaran”, ya, paling tidak bakar jagung. Ada yang bakar ikan, ayam, bebek. Bau asapnya jauh sampai. Tetangga yang tidak punya acara atau lebih tepatnya orang-orang yang tidak begitu fanatisme terhadap perayaan malam pergantian tahun, mau tidak-mau ikut menikmati aromanya.

Sore tadi selagi top up pulsa buat memperpanjang masa aktif simcard masa tenggang milik istri, saya bertemu tetangga warga blok V, ia bertanya perihal acara malam pergantian tahun. “Di sana –maksudnya di blok tempat saya tinggal– potong apa?,” tanyanya. “Wah, nggak potong apa-apa,” jawab saya belagak bingung.

“Di blok U potong kambing. Ya, barusan saya ke sana, warga lagi sibuk membereskan daging kambing,” ujarnya. “Padahal kan masih besok malam tahun barunya,” ia melanjutkan ceritanya. “Ya, mungkin mau dipersiapkan dari malam ini agar besok mereka tidak repot-repot amat,” jawab saya sekenanya.

Apa pun acara warga. Mau bakar jagung kek, ikan kek, ayam kek, maupun kambing, unta, ya, itu hak mereka. Asalkan berhati-hati dengan sisa “bakar-bakaran” itu jangan sampai menimbulkan kebakaran dalam arti sesungguhnya yang menghanguskan rumah bahkan ada korban jiwa segala. Bahaya, Bro. Bahaya!

Kerap terjadi di Ibu Kota Jakarta khususnya, kebakaran di malam tahun baru, di saat bulan puasa, lebaran atau di masa-masa orang mestinya bersenang-senang, tetapi justru tertimpa bencana. Nah, jangalah sampai terjadi hal demikian karena ulah kita “bakar-bakaran” terus terjadi kebakaran permukiman. Cilaka, kan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...