Hujan Kepagian

Kemacetan di U-Turn jalan menuju SMA 14 Bukit Kemiling Permai, Bandar Lampung, pagi tadi.

Sebenarnya masalah ini sudah saya publikasikan lho di blog ini tanggal 15/11 pada post-blog berjudul “Salah Maning” bahwa panjang naskah tulisan untuk antologi “Terkenang Kampung Halaman: Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran” yang benar maksimal 5000 karakter. Cilakanya, saya menangkapnya maksimal 5000 kata.

Berhubung saat menulis naskah saya diganggu kantuk karena sudah larut malam, sehingga saya hentikan pada sekitar 1600 kata. Keesokan harinya kembali saya lanjutkan hingga selesai pada 2742 kata. Saya merasa tidak sanggup untuk memenuhi 5000 kata. Terlalu ruwet mengembalikan ingatan-ingatan di masa lalu.

Saya merasa, hanya dengan 2742 kata saja, cerita yang saya tulis tentang sejumput ingatan atau kenangan pada Tanah Kelahiran sudah tercatat semua. Hampir tidak ada yang luput saya ceritakan, membuat saya puas dan merasa senang. Padahal, menurut ketentuan admin penyelenggara, jumlah itu terlampau panjang.

Setelah saya baca lagi obrolan di WAG dan saya buka kembali postingan facebook admin, saya baru sadar ternyata saya salah tangkap. Saya nyana 5000 kata, yang benar adalah 5000 karakter. Saya lalu berpikir dan menyiratkan pertanyaan, hanya dengan 700 kata atau 5000 karakter, apa yang bisa diceritakan?

Rupanya, dari remah obrolan di WAG, terungkap fakta ternyata banyak juga yang salah tangkap. Ada yang merasa sayang sekali sudah bercerita panjang-lebar, tetapi karena menyalahi ketentuan 5000 karakter lalu disuruh mengedit ulang tulisannya. Betapa sulitnya memilih dan memilah bagian mana harus dibuang.

Hujan kepagian! Hujan pagi begini, saat dibutuhkan untuk mengantar anak ke sekolah, adalah saat yang krusial karena niscaya akan ada kemacetan di titik-titik tertentu jalan raya. Lampu setopan (traffic lights) atau abang-kuning-ijo (bangjo), simpang jalan atau U-Turn.

Macet yang stagnan, tidak ada pergerakan sama sekali, acapkali terjadi karena tidak ada yang mau mengalah. Semua pengendara berkehendak maju meski beringsut sedikit demi sedikit. Tingkat toleransi yang rendah para pemakai jalan itulah pokok pangkal jadi penyebabnya.

Sedih benar rasanya, dahulu mengantar anak ke SMP 2 Pahoman dan SMA 2 Gotong Royong, di bawah guyuran hujan. Kalau sekadar gerimis tipis, ya, bisalah memakai mantel. Di kala hujan tercurah deras yang bikin kagok. Bila berteduh, takut anak terlambat sampai di sekolah.

Dahulu belum ada taksi online seperti sekarang yang bisa jadi solusi bila hujan, ke sekolah tinggal pesan gokar atau dari operator lainnya. Jadi, satu-satunya jalan, ya, naik motor di bawah deraan hujan yang tidak bisa diprediksi di mana area lebat atau di mana reda.

Nah, kalau sudah sampai setopan lampu lalu lintas dicegat kemacetan sementara hujan deras, waduh, bukan main sedihnya. Tetapi, tidak bisa ditangisi juga, namanya kodrat alam. Memang musim penghujan, mesti diterima dengan lapang dada. Syukuri juga tho.

Sewaktu ikut acara Ubud Writers and Readers Festival di Ubud, Bali, 18—22 Oktober silam, kami menemukan juga kemacetan di persimpangan jalan (U-Turn). Tetapi, terurainya cepat sekali. Kenapa? Apa lagi kalau bukan karena tingkat toleransi warga Bali yang begitu tinggi.

Budaya Bali memang begitu. Hukum adat dijunjung begitu tinggi melebihi hukum negara. Sabar dan sedikit mau mengalah seperti standar baku mesti dijalankan tanpa adanya paksaan. Tidak ada polisi yang mengatur, semua berjalan dengan sendirinya. Natural, alamiah.

Iya, tidak ada insiden senggolan apalagi tabrakan “adu kambing” hingga ringsek dan ada korban jiwa. Polisi negara saja tidak ada apalagi “polisi cepek” mengatur di U-Turn yang maksudnya mengatur agar semua bisa lancar, tetapi malah menambah parahnya kemacetan.

Mungkin menjengkelkan. Ya, ada orang menumpahkan kekesalannya di media social oleh keberadaan orang yang mengatur persilangan kendaraan di U-Turn. Saya pribadi merasa kadang ada manfaatnya juga. Dengan mereka mengatur sedemikian rupa, tidak begitu macet.

Lah iya, ketimbang semua maju saling serobot. Artinya apa? Terpulang kepada perspektif masing-masing. Ada orang merasa jengkel. Ada pula orang merasa bantuan berharga. Pro-kontra dalam menilai sesutau jamak saja terjadi. Lumrah dan rasanya sah-sah saja. Bijak saja, ya.


Hujan Kepagian

Puisi Zabidi Yakub

Sejak subuh berlabuh, riak gerimis meningkahi
Di luar, jalan mulai basah, debu-debu terpuruk
Di sekujur ruang, hawa dingin masuk mengelilingi
Di pinggir dipan aku terduduk dihalangi kantuk

Azan Subuh terus melangit sampai jauh
Jalan basah penghalang, enggan ke masjid
Akhirnya, Subuh aku selesaikan di rumah
Toh, Tuhan mafhum, karena Dia begitu dekat

Hujan kepagian, sejak subuh ia berangkat
Hingga pukul 8 belum juga hendak berhenti
Begitu tahankah ia terhadap rasa penat
Masih berjatuhan hinggi matahari meninggi

Matahari sudah meninggi entah berapa derajat
Namun, hujan kepagian ini terasa begitu dekat
Terasa dari hawa yang disampaikan menyayat 
Di persimpanag jalan roda-roda berhenti tercegat

Ada yang sumringah, ada yang merutuki hujan
Tak ada yang benar-benar memuaskan keadaan
itulah mengapa hati sering mendua lalu kalah
Perkara hujan saja dianggap hal yang salah


Bandar Lampung, 4 Desember 2023 | 08:38 |



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan