Langsung ke konten utama

Vakansi


Tersiram rinai gerimis pagi tadi membuat rasa badan seperti spanning listrik yang lagi turun voltage. Sikit terasa tengkuk menghangat seperti hendak deman.

Apa daya ada undangan kolega istri hajat mantu di GSG Ernawan. Matahari meninggi seiring perginya gerimis yang tidak menderas. Pertanda cuaca bagus.

Kondangan pun bisa kabul. Sampai gedung belum terlampau siang, masih menyimak sambutan rektor Unmal mewakili kedua belah pihak sahibul hajat.

Disusul kemudian doa, momen paling sakral di acara resepsi. Mendoakan pasangan pengantin agar bisa menjadi seperti pasangan Nabi Adam dan Siti Hawa.

Atau seperti pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra binti Muhammad. Dan, seperti pasangan Rasulillah Muhammad Saw dan istrinya Siti Aisyah.

Sungguh doa yang indah dan bagus, tetapi berat. Indah didengar, bagus pengharapannya, tetapi berat mewujudkannya. Seribu satu orang bisa meraihnya.

Usai doa diaamiinkan, tamu beranjak dari tempat duduk ke segala penjuru, aneka pondokan sebelum menyantap menu makan besar di meja prasmanan.

Sudah santap (jelang) siang dan kenyang. Makanan sudah bersemayam di lambung, beguyur menyusuri jalan pulang. Sampai rumah tepat pukul satu siang.

Di jalan kutengok di kejauhan mendung bergelayut manja di bahu jumantara. Kukira sore bakal hujan, tetapi rupanya mendung terusir cerahnya alam senja.

Kemarau masih betah membersamai aku, kamu, dan mereka. Di musim liburan sekolah, sepertinya cuaca terang lebih diharapkan agar vakansi menyenangkan.

Vakansi di bulan Desember pada tahun-tahun dahulu jauh sebelum pandemi Covid-19 sedikit agak njelehi. Bersamaan musim penghujan, dibuatnya mati kutu.

Pernah kami di Pacitan tidak bisa ke mana-mana. Hujan seharian dari pagi. Acara menikmati malam di Malioboro juga kurang berkesan, diganggu hujan.

Nah, Desember tahun ini kemarau memperpanjang masa tinggal, musim penghujan merasa terganggu. Tetapi untung, cuaca amat bersahabat buat vakansi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...