Langsung ke konten utama

Rasa Oplosan

sebagai ilustrasi gambar Nella Kharisma penyanyi lagu oplosan saja. (image source: Apple Music)

Mahkamah Agung RI memperkuat putusan Pengadilan Niaga Semarang yang menyatakan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) beserta tiga entitas afiliasinya (partner Sritex Grup) yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya dinyatakan berada dalam kondisi pailit.

10.965 karyawannya terkena PHK Masal. Dengan muka sedih mereka meninggalkan pabrik tekstil di Kabupaten Sukoharjo itu, untuk pulang kampung bagi perantau dan ke seputaran Solo, Sukoharjo, Kartosuro yang terdekat. Hapus sudah nama pabrik tekstil legendaris itu dari ingatan massa.

Apa yang dirasa karyawan yang terkena PHK? Campur aduk seperti Pertamax dan Pertalite yang dioplos. Rasa oplosan antara bersukacita atas datangnya bulan suci Ramadan dan kehilangan pekerjaan berbaur menjadi satu. Rasa antara gembira dan sedih. Terlepas dari qodarullah, itu ujian berat.

Gembira dengan datangnya bulan Ramadan dimaknai sebagai rasa syukur atas panjangnya usia sehingga dipertemukan Allah SWT dengan bulan berlimpah berkah, maghfirah, dan itkun minannar tersebut. Bertingkah dengan sedih atas hilangnya mata air sumber nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga.

Barangkali ada di antara karyawan yang terkena PHK paham ‘mitigasi bencana’ bukan dalam arti gempa bumi, melainkan gempa keuangan sehingga punya financial planning, menyiapkan tabungan untuk tanggap darurat bila sewaktu-waktu terjadi ‘gempa’ berupa PHK oleh perusahaan.

Kendati terkena PHK, dengan memiliki tabungan, membuat mereka “mantab –makan tabungan)” pada akhirnya. Tapi, lama-lama tabungan menipis dan akan habis pada masanya. Seperti yang sudah umum para pekerja rasakan adalah di akhir Ramadan perusahaan akan memberi THR.

Mendapat THR adalah satu ‘rasa’ yang berulang datang menemui para pekerja setiap jelang idulfitri, kegembiraan tiada tara. Setelah di-PHK, momen menerima amplop THR dari perusahaan akan hilang. Kesedihan tiada tara muncul sebagai ‘rasa’ yang tak terkira bagaimana perihnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...