Langsung ke konten utama

ODOJ dan Political Will

Political Will, Quote Al Gore (image source: QuoteFancy)

Tidak hanya dalam politik saja dibutuhkan political will. Dalam masalah ODOJ (one day one juz), yaitu setor bacaan satu hari satu juz Alquran yang ada di WhatsApp Grup (WAG) juga butuh. Begitu narasi yang saya lempar ke WAG HuManIs (HMI Komisariat AMP YKPN). Untuk mencari 30 orang dari 75 anggota yang ada untuk ikutan ODOJ susah sekali.

Hingga setoran dimulai hari pertama Ramadan ini hanya 25 orang yang mengisi list kesediaan ikut serta. Itu pun saya dan Uddah mengampu 2 juz per hari. Dalam hati membatin, mengapa kok tidak ada yang tertarik menangguk pahala dari setiap huruf Alquran diganjar pahala oleh Allah SWT berlipat menjadi sembnilan kali bahkan hingga tujuh ratus bulir.

Butuh political will. Menurut Brinkerhoff, ini melibatkan usaha yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jadi, political will berkaitan dengan keinginan dan tindakan nyata dari pemimpin politik untuk menjalankan kebijakan yang dapat membawa perubahan positif. Jelas kan, ODOJ juga butuh keinginan dan tindakan nyata semua peserta.1

Menegakkan amar makruf nahi munkar bagai menegakkan benang basah. Memberikan nasihat kepada orang yang paham agama, tapi hanya sebatas paham belaka. Giliran diajak mengaplikasikannya dalam kerja nyata, hanya berpangku tangan belaka. Fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dalam QS. Al-Baqarah [2] : 148 sesuatu yang sulit.

Mujkić menyebut political will memiliki tiga aspek utama. Pertama, distribusi preferensi atau harapan mengenai hasil yang diinginkan. Kedua, otoritas, kapasitas, dan legitimasi pemimpin yang membuat keputusan. Ketiga, komitmen terhadap pilihan yang diambil. Jika pemimpin tidak tulus atau tidak konsisten, kemauan politiknya akan lemah dan sulit untuk mencapai keberhasilan.2

1.     1. Apa Itu Political Will? Ini Contoh dan Pengaruhnya dalam Pemerintahan. (detik.com, 11/11/2024)

2.     2. ibid


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...