Langsung ke konten utama

Pertamax

Jancuk, negoro cap opo iki

Lebih satu dasa warsa saya bersetia dengan pertamax. Sejak awal Jokowi jadi presiden 2014 ketika ia naikkan harga BBM, saya lihat selisih harga antara pertalite dengan pertamax tidak begitu signifikan, saya langsung putuskan lebih baik sekalian pakai pertamax saja.

Ketika ramai diberitakan pertamax yang dijual SPBU bukan murni pertamax, melainkan hasil oplosan dengan pertalite, kontan saya putuskan berhenti memberi motor "minum" pertamax. Maka, mulai isi BBM pagi tadi saya arahkan motor ke jalur tanki penjualan pertalite.

Tetapi, agak menyesal kemudian. Aroma yang tercium dari motor, BBM yang saya "minumkan" kepadanya seperti bau minyak tanah. Minyak tanah yang beredar di pasaran, tidak lagi berwarna kuning pekat seperti minyak tanah zaman dahulu, tapi berwarna kebiru-biruan.

Ya, kebiru-biruan hampir menyamai seperti pertalite atau pertamax atau hasil oplosan keduanya. Yang membedakan tentu harga ketiganya. Tetapi, tidak begitu signifikan, beli pertamax tidak rugi-rugi amat, justru bagus buat kendaraan kita, cenderung lebih sehat.

Ya, lebih sehat seperti anak-anak yang dapat makan bergizi gratis. Yang tidak sehat adalah hati kita karena disakiti oleh para kampret keparat yang mendapat fee dari permainan mengoplos pertamax dengan pertalite tersebut. Konon dapat setoran 50 miliar per bulan.

Fee yang mereka terima itu jika dialokasikan untuk menyejahterakan warga negara yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan (nyaris tenggelam dalam status miskin), niscaya akan merasakan hidup lumayan sejahtera. Negara mendapat pengakuan telah 'bekerja' mengayomi rakyatnya.

Cukup Bekasi saja yang "tenggelam" (dampak hujan kemarin). Jangan pula warga negara yang punya hak untuk diayomi, dipelihara, dan dimakmurkan oleh negara, tapi yang  terjadi justru ditenggelamkan dalam kesengsaraan dengan cara terstruktur, sistemik, dan masif.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...