Langsung ke konten utama

Pasar Koga

Kios penjual ayam kampung

Lama gak belanja di Pasar Koga, tadi ada sedikit perubahan perwajahan di bagian los sayap utara. Pedagang yang ngampar di gang digusur, mungkin direlokasi ke bagian lain. Gang jadi tambah lebar, kendaraan roda empat bisa masuk, parkir di dalam.

Bangunan kios di bagian sudut dibongkar, di area itulah mobil bisa parkir. Di gang itulah biasanya kami beli ayam kampung potong setiap hendak Idulfitri dan Iduladha. Artinya, setahun sekali atau dua kali baru balik ke sana, ya, hanya untuk beli ayam kampung itu.

Di sebelah toko emas (depan kios ayam) dekat area parkir, bekas bongkaran kios itu kini dijadikan musala dilengkapi MCK dan tempat wudu. Nuansa religius dihadirkan di tengah pasar yang lumrahnya berwajah kumuh, becek, penuh sampah, jorok, dan bau amis.

Musala Al-Ikhlas

Saya tanya sama ibu yang jaga MCK di musala, sudah berapa lama bangunan musala itu digunakan. Dijawab olehnya sudah enam bulan. Nah, ketahuan kan kalau udah lama banget gak ke pasar itu. Persisnya masuk ke bagian dalam pasar berbelanja aneka kebutuhan.

Kalaupun mampir pasar ke Koga, biasanya hanya ke toko di bagian depan pasar untuk membeli kopi JP yang asli. Kopi tiruannya banyak di warung-warung tetdekat. Atau masuk ke dalam membeli ikan dan buah-buahan. Tadi kios buah langganan dulu kosong.

Tadi dipakai (sementara) oleh penjual kaos kaki dan sebagainya. Dalam hati bertanya, ke mana ibu penjual itu? Umpama sudah berpulang ke Haribaan-Nya, kenapa usaha dagangnya tidak dilanjutkan anak-anaknya yang dahulu biasa membantunya berjualan.

Tandon air bekas protokol kesehatan "mencuci tangan pakai sabun" di masa Covid-19 (2020--2022)

Inilah sisa-sisa peninggalan Covid-19. Tandon air untuk "mencuci tangan pakai sabun", satu dari tiga protokol kesehatan 3M, dua protokol kesehatan lainnya adalah "memakai masker" dan "menjaga jarak" yang pernah membelenggu kebebasan di masa itu.

Dua tandon air untuk "mencuci tangan" ini sumbangan BRI, kini teronggok di dalam kios yang sejak dahulu memang kosong dan rolling door-nya rusak. Kini jadi prasasti pengingat sejarah yang takkan terlupakan bahwa pernah ada pandemi bernama Covid-19.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...