Langsung ke konten utama

Menimba Inspirasi

Ilustrasi gayung dan bak mandi (image source: Bincang Muslimah)

“Bagaimana caranya kok You bisa konsisten menulis untuk blog setiap hari,” tanya seorang kawan via WhatsApp. “Eh, kok You tahu itu,” saya balik bertanya. “Ya, Me, tanpa You tahu, rajin ngintip You punya blog setiap hari. Saya jadi terkesima mendengar pernyataan kawan itu. Ternyata di era disrupsi media kini, lelaku “memelihara” blog dan memberinya “makan” setiap hari adalah pekerjaan langka.

Jika masih ada orang yang melakukan, maka bisa dikatakan mereka termasuk manusia langka. Diam-diam saya bersyukur. Energi saya yang tumbuh dari kesenangan membaca dan menulis, seperti mendapat “oplosan” dari semangat karena ada kawan yang diam-diam suka ngintip. Barangkali juga ada orang asing lainnya rajin menunggu postingan saya, tanpa saya ketahui, sejatinya siapa mereka.

Oplosan energi bagi (semangat) saya tentu berbeda dengan oplosan pertamax dengan pertalite bagi (kendaraan) yang sudah saya postingkan kemarin sedikit saya singgung. Energi menulis bagi orang yang berbakat sekalipun, tentu ada kalanya naik menggebu-gebu dan ada kalanya turun. Mengikuti mood. Barangkali begitu istilahnya. Disaat menggebu akan produktif. Disaat turun akan mandeg.

Tentang konsistensi seperti yang kawan itu tanyakan, itu sebuah tantangan. Dibutuhkan kreativitas agar bisa mendapatkan sumber tulisan. Seperti sudah pernah saya tulis juga di blog ini, selain membaca saya mengamati apa pun di jalan, pasar, tempat-tempat keramaian atau dalam kesunyian sekalipun. Saat sedang mandi inspirasi datang. Pagi ini, sedang menimbakan gayung, ada ide berdengung.

Ada ide tentang puisi yang cenderung rasis. Padahal, untuk terbit di media, sebuah puisi tidak boleh mengandung sara (suku, agama, ras, dan antargolongan). Selesai mandi cepat-cepat saya buka laptop dan menuliskannya, takut ide menguap dan hilang. Begitu jawaban untuk pertanyaan kawan di atas. Jika betul ia rajin ngintip blog ini, maka ia akan membaca jawaban untuk pertanyaannya. Di sini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...