Langsung ke konten utama

Peduli Tempo

Paket kepala babi dengan telinga terpotong yang diterima Tempo sebagai teror atas kerja jurnalistik mereka. (foto: Tempo.co)

Banyak sekali dukungan terhadap Majalah Tempo yang jurnalisnya, Francisca Christy Rosana, yang diteror dengan kiriman paket kepala babi. Di Grup WA beredar daftar dukungan dari berbagai profesi. Saya pun membubuhkan nama sebagai pendukung pada list yang beredar di WAG Partey Penulis Puisi.

Di bawah Tagar #SaveTempo dan #LawanTeror, tercatat lebih dari 260 nama pendukung di WAG PPP dengan latar belakang; penulis, penyair, akademisi, dll. List dukungan ini akan diserahkan langsung perwakilan seniman di Tempo di Jl. Palmerah Barat pada siang ini pukul 12:00–14:00.

Tanda dukungan kendati hanya catatan nama-nama, besar maknanya. Itu menunjukkan bahwa rasa kemanusiaan masih hidup dalah hati para pendukung. Berbanding terbalik dengan tanggapan negatif para pejabat terhadap terror yang dilayangkan ke Tempo, misalnya statemen Hasan Nasbi.

Ketika dimintai tanggapan oleh wartawan, Kepala Kantor Kepresidenan itu mengeluarkan pernyataan agar kepala babi itu dimasak saja. Statemen yang konyol darinya mengundang reaksi berbagai pihak. Mantan Menteri KKP Susi Pujiastuti mengecam keras tanggapan Nasbi yang kontraproduktif tersebut.

Beredar mémé “Warung Nasbi” yang diasosiasikan sebagai “Nasi Babi” yang kebetulan Nasbi itu tecermin sebagai nama Hasan Nasbi. Netizen selalu punya cara tersendiri dalam meluapkan emosi. Tidak selalu dengan umpatan kasar, melalui sindiran halus berupa karikatur, lebih mengena.

Melalui platform media sosial, ucapan konyol Hasan Nasbi beredar menggurita ke mana-mana. Kelak akan muncul sebagai jejak digital yang berkonotasi negatif cerminan diri saat ia jadi pejabat pernah berlaku naif. Mungkin Hasan Nasbi menyesal, tapi nasi telah menjadi bubur. Sebuah ketelanjuran yang absurd.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...