Langsung ke konten utama

Tentang tak Sengaja

Kembali lagi, saya akan menceritakan lumpia legend samijaya. Sudah beberapa postingan menyentil lumpia legendaris sejak zaman saya kuliah di Jogja tahun 1984an ini. Tentang raib dan bertemu.

Bila mudik ke Pacitan, saya dan istri singgah nginap semalam di Jogja. Biasanya kami menginap di hotel kawasan Jl. Dagen. Saat hendak ke Jember (24/10) kemarin kami menginap di Hotel Akur Jl. Mataram.

Lewat gang Melati yang sempit, tapi banyak hotel murah di situ, kami berdua ke Jl. Malioboro hendak mencari makan, eh... di ujung gang jebule ketemu lumpia sami jaya jualan di situ. Uh, deja vu jadinya.

Dari ketidaksengajaan banyak hal terjadi. Ada orang ketemu di kereta dan ngobrolnya begitu nyambung, meninggalkan kesan mendalam, bertukar watsapp hubungan dilanjut. Chatingan, dari biasa jadi mesra.

Kesan mendalam yang kemudian dilanjutkan melalui whatsaap, saling merasa cocok tumbuh berkembang menjadi buah kesepakatan. Jodoh ketemu di kereta itu dituntaskan. Atau hilang meninggalkan kenangan.

Begitu juga halnya kami ketemu lagi tempat lumpia samijaya berjualan yang nyempil, juga tidak sengaja. Ketika kami tiba di mulut gang Melati, Suryatmajan, kecamatan Danurejan, Jogjakarta, loh... ada lumpia.

Dahulu kala, sejak memulai buka usaha tahun 1983, lumpia samijaya berjualan di selasar Toko Samijaya dekat hotel Samijaya. Nama lumpia samijaya pun karena melekatkan nama tempat mulai usaha itu.

Kami menginap di hotel Akur dan tidak di kawasan Dagen, atas pertimbangan memudahkan akses ke stasiun Lempuyangan esok pagi-pagi agar tak telat naik kereta ke Jember yang berangkat pukul 07:00.

Coba seandainya masih menjadikan Dagen tempat menginap, niscaya tidak ketemu lumpia samijaya karena nyempil di mulut gang agak masuk. Tidak kelihatan menonjol, padahal di seberang Jl. Dagen.

Faktor kebetulan atau ketidaksengajaan tersebut, akhirnya kembali menemukan lumpia legendaris yang selalu ramai dikerubuti calon pembeli yang   rela antre dan sabar menunggu giliran dilayani.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...