Langsung ke konten utama

Dialog Lima Sungai (3)

Kemarin, sekira pukul 11:30 WIB admin whatsapp antologi dialog lima sungai mengunggah google drive berisi sertifikat bagi penyair terpilih (yang puisinya lolos kurasi). Tentu saja saya tidak punya kepentingan dan pengin membuka, bahkan tertarik pun tidak.

Ada keterangan tambahan disusulkan 7 menit kemudian, untuk penyair yang sudah ikut berpartisipasi namun tidak berhasil terpilih. Akan mereka siapkan form pengisian terkait nama yang ingin dimasukkan ke sertifikat. Sertifikatnya berbeda dengan yang terpilih.

Jembatan Kapuas Tayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. (Dokumentasi Pusat Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Saya tertawa dalam hati. Tidak berani ngakak, takut terdengar tetangga nanti dikira ada apa. Apalagi keadaan badan masih merasakan sisa-sisa lelah menempuh perjalanan ke Jember menghadiri launching buku antologi Semesta Ingatan dalam acara Temu Karya Serumpun.

Sehingga saya lebih banyak istirahat sambil mengedit puisi yang saya tulis di whatsapp pribadi. Bicara dan tertawa secukupnya, tidak keras dan tidak pula lemah. Hati cukup happy sehabis healing sambil berjumpa dengan kawan-kawan penyair yang pernah ketemu.

Acara Temu Karya Serumpun (TKS) seperti reuni bagi kami yang tahun 2024 lalu bertemu di Banyuwangi dalam acara Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT). Waktunya beririsan, TKS tgl. 25–26 Oktober sementara JSAT tahun lalu tgl. 24–26 Oktober. Nah, kelop sekali, bukan.

Tanggal 25 Oktober 2024 saya satu kelompok dengan Bro Matroni Musérang, penyair dari Sumenep pada acara Penyair Goes to School di SMPN 1 Genteng, Banyuwangi. Tanggal 25 Oktober 2025 ketemu lagi di even Temu Karya Serumpun di Jember. Semacam reuni, bukan.

Lanjut lagi cerita tentang antologi dialog lima sungai. Pukul 13:45 link form sertifikat untuk partisipan diunggah. Ini diperuntukkan bagi partisipan yang menginginkan sertifikat. Siapa saja yang menginginkan? Siapa saja yang suka cita menyambut? Ya, ndak tau. Kok tanya saya.

Saya sendiri tidak menginginkannya dan tidak juga bersuka cita menyambutnya. Hanya saja saya tergelitik untuk sikit pengin tahu, kepo sikit bolehlah, menanyai teman satu antologi Ijen Purba dan Semesta Ingatan. Kami berdua ngerumpiin dialog lima sungai di Temu Karya.

Di sela-sela acara bedah buku Semesta Ingatan oleh pakar di Museum Tembakau, Jember yang menghadirkan Okky Madasari, Ph.D dan Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., saya dan Upik ngerumpiian dialog lima sungai yang uhuy. Eh, kok kemarin ditawari sertifikat partisipan.

Saya chat si Upik, apakah dia akan mengisi form sertifikat partisipan? Endak, Pak, balas dia menjawab chat saya. Nah, kelop. Ternyata selain saya, mbak Upik pun nggak tertarik. Gak tau kalo yang lain. Kali aja sih buat nambah-nambah koleksi sertifikat, monggo ditompo.

Atau kalo memang belum pernah mendapat sertifikat, ya, kesempatan bagus dong, ambil saja, terima saja buat nambah-nambah rasa bangga kalo pernah dapat sertifikat nulis puisi kendati belum terpilih. Saya dapat beberapa sertifikat, saya biarkan tersimpan di laptop.

Ada beberapa yang saya pajang di IG. Tidak semua momen yang tertangkap kamera hape saya pajang di IG. Begitu pun fb. Tapi, model sekarang apa yang ditarok di IG otomatis akan tampak pula di fb dan Threads. Karena tiga kakak beradik itu satu keturunan, anak Meta.

Yang patut "dikritisi" dari penyelenggaraan dialog lima sungai adalah prosesnya. Even apa pun, terutama lomba, sayembara atau apa pun judulnya, yang juara itu bukan tentang siapa-siapa terbaik, melainkan proses kurasi dan keputusan dijalankan dengan kompeten.

Bagaimana supaya bisa dikatakan kompeten? Tentu harus melibatkan orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya. Misalkan even sastra, maka kuratornya mesti seorang sastrawan yang mengerti masalah kesastraan. Atau pakar di bidang sastra seperti akademisi.

Saya tercenung saat menonton video: "Kurator Abal-abal, Penyair Dirugikan." Narator tidak menyebutkan even apa. Tetapi, keteledoran pengampu D5S mengeluarkan pengumuman hasil kurasi pertama, memancing komentar panas peserta even kemudian menjadi viral.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...