Langsung ke konten utama

Makan Bareng

Kalau saya dan istri menilik anak ragil di Pasar Minggu, biasanya olehnya kami diinapkan di amaris hotel Kemang, kemarin karena Jakarta hujan deras dan banjir, kemacetan parah jalan simatupang, maka kami diinapkannya di Pejaten Valley Residence Hotel. Dari Depok sama dekatnya dengan dari Pasar Minggu, lama perjalanan kurang lebih setengah jam.

Kalau menginapnya di amaris hotel, buat cari kuliner nggak begitu merepotkan karena ada Teras Kemang, pusat kuliner segala ada. Pengin ke Bebek Carok juga dekatan. Kami menginap di Pejaten Valley Residence Hotel karena hujan melulu, terpaksa keinginan untuk kumpul makan di luar bareng anak dan mantu batal. Gantinya beli take away dan makan bareng di hotel.

Dadar Beredar by Babe Cabita

Ya, judulnya tetap "makan bareng" maka disematkan jadi judul postingan ini, tapi "makan bareng" bukan di luar alias wisata kuliner, melainkan "makan bareng" di hotel. Menu yang kami beli Dadar Beredar, jenama kuliner milik Babe Cabita almarhum. Kebetulan ada gerainya yang tidak begitu jauh dari lokasi hotel ini.

Makan bareng antara orang tua dan anak, di masa kini adalah momen mewah. Bukan dalam pengertian nilai ekonomi menu apa yang dinikmati bersama itu, melainkan dalam arti 'waktu luang' yang tidak semua orang bisa memilikinya. Waktu luang di kota besar apalagi seperti Jakarta, besar nilainya tak terhingga.

Diceplok, didadar atau disayang, pilih mana?

Orang-orang diringkus kesibukan dalam bekerja dan berusaha. Intensitas pertemuan di antara orang tua dengan anak, waktunya kian tergerus, apalagi sudah terpisah jauh. Anak-anak setelah selesai kuliah akan langsung bekerja di kota, tak mungkin dapat pulang menemui orang tua sekehendak hatinya. Terhalang regulasi tempat bekerja yang mungkin ketat sekali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...