Langsung ke konten utama

Kabar Penyair Pergi

Satu per satu kabar penyair berpulang tersampaikan melalui WhatsApp Grup. Ada puluhan WAG yang meringkus nama saya ke dalamnya sebagai anggota. WAG yang jadi jembatan komunikasi (salam sapa) bercanda antarpenyair –digawangi oleh admin– yang mengikuti lomba menulis puisi untuk dikurasi kemudian dibukukan dalam antologi bersama.

Perginya sang penyair di usia matang, tidak muda lagi tapi belum begitu tua, memantik saya menciptakan puisi di bawah ini. Frasa “di waktu masih agak pagi” menggambarkan usia yang masih muda. Lalu, frasa “tidak terjadi barangkali” dan setelah senja semestinya” menggambarkan bahwa seolah mati layak terjadi ketika seseorang sudah menjadi tua. 

Padahal, mati bukan perkara muda atau tua. Bukan masalah ‘masih pagi atau sudah senja’. Mati terjadi bukan berdasarkan daftar urut, melainkan daftar cabut. Begitulah, jika sudah waktunya Malaikat pencabut nyawa datang memenuhi perintah Tuhan untuk memanggil pulang seseorang, maka tak urung matilah seseorang itu, tak terikat pada siap tidak-siap.

Selamat jalan kawan-kawan penyair yang berpulang. Pulanglah dengan damai.

 

Kabar Penyair Pergi

Puisi Zabidi Yakub

kabar bertubi minggu ini
satu-satu penyair pergi
bukan ke panggung
baca puisi
melainkan ke wilayah
sepi. menyendiri

bukan mengasingkan diri
memulut inspirasi
dibuat jadi larik puisi
melainkan diasingkan
ke wilayah musim semi
karena telah mati

minggu-minggu ini
kabar penyair pergi
satu-satu sampai ke kami
mencipta duka di hati
keluarga yang mengasihi
sahabat yang menyenangi

kabar penyair pergi
di waktu masih agak pagi
mencipta nuansa ngeri
diam mengendap-endap
maut yang mengintai
langkah dimata-matai

apakah waktu pergi
tidak terjadi barangkali
setelah senja semestinya
begitulah. aku menyadari
bekal amal akan dibawa
bukan antologi puisi

 

Kemiling Permai, 27 November 2025

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...