Langsung ke konten utama

Pengujian Simultan

Ekstase rasanya saya pagi tadi, menyadari perubahan yang signifikan tekanan darah, dari semula tinggi hingga balik ke normal. Tentang ini, saya jadikan sebagai bahan ngonten alias nulis di blog ini. Muasalnya penyakit vertigo yang dua kali saya alami dan meh kali yang ketiga. Program menggiring tekanan darah menuju arah jalan pulang dari tinggi ke rendah atau normal, saya mulai tanggal 12 November 2025 tatkala tepat di Hari Kesehatan Nasional ke-61, itu saya pergi ke posyandu memeriksakan tekanan darah karena merasa, vertigo seperti hendak datang bertamu.

Saat itu hasil pemeriksaan 160/90. Tindak lanjut untuk memastikan apakah betul memang ada gejala kena hipertensi, seperti saran bidan di posyandu/posbindu, keesokannya saya pergi ke poskeskel, ketemu bidan yang kemarinnya di posyandu/posbindu, hasil pemeriksaan 146/91. Sebagai langkah preventif –mencegah kan lebih baik daripada mengobati– saya pun langsung ke faskes BPJS tempat Kartu Indonesia Sehat kami terdaftar. Hasil pemeriksaan oleh dokter jaga 154/90. Saya diberi obat penurun tensi 5 mg untuk jatah 5 hari plus obat lambung dan vertigo.

Ilustrasi

Tanggal 17 November 2025 saya balik lagi kontrol, hasil pemeriksaan tekanan darah masih di 155/86. Oleh dokter divonis memang sudah masuk kategori pengidap hipertensi, obat yang tadi berdosis 5 mg ditingkatkan menjadi 10 mg. Gak sabaran rasanya saya, saya pun cari obat pendamping, googling, ada sekian jenis daun bisa direbus dan diminum airnya untuk menurunkan tensi. Sebelum memutuskan mencoba rebusan dedaunan itu, mulai sejak 20 November saya tambahkan daun kelor di sayur bening, dua kali pagi dan petang. Malamnya saya pengobatan ala medis menenggak pil 10 mg itu.

Sehari sebelum obat habis, 26 November saya kontrol lagi, tekanan darah masih di 155/76. Obat ditambah lagi untuk 10 hari ke depan. Menyadari sayur daun kelor seperti tidak begitu signifikan, Kamis (27/11) saya beli rimpang temu lawak dan kunyit. Saya menambahkan daun jambu biji dan seledri pada rebusan irisan rimpang temu lawak dan kunyit, dari satu gelas menjadi setengah gelas saya minum selagi hangat. Sebelum meminum rebusan rimpang dan daun jambu biji plus seledri, untuk acuan bahan perbandingan –sebelum dan sesudah–, saya lakukan cek tensi, hasilnya 150/80.

Sepulang salat jumat, kembali saya cek tensi untuk menguji sejauh apa signifikansi rebusan rimpang-rimpangan plus daun jambu biji dan seledri dalam menurunkan tensi darah dan sebagai validasi antar-waktu –sebelum dan sesudah–. Wow, amat menakjubkan, tensi langsung anjlok ke 121/76. Alhamdulillah wa syukurillah ke Hadirat Allah. Ternyata benar belaka, seperti yang saya baca hasil googling, bahwa daun jambu biji merupakan salah satu dalam daftar daun-daunan yang bisa direbus untuk menurunkan tensi darah. Hingga pagi ini tekanan darah sudah bisa dibilang normal.

Begitulah hasil pengujian simultan yang saya lakukan. Jadi, buat Anda para pembaca budiman,  mengalami tekanan darah tinggi atau barangkali ada anggota keluarga Anda yang menjadi pasien hipertensi langganan ke dokter menambah obat. Katakan, stop minum obat, ganti dengan minum rebusan daun-daunan yang bisa dipergunakan menurunkan tekanan darah tinggi. Di antaranya, daun jambu biji, seledri, kemangi, daun salam, daun meniran, dan daun kelor. Tapi, untuk yang terakhir, daun kelor, sebaiknya jangan direbus. Taruh di mangkuk dan siram kuah sayur bening.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...