Pesta pernikahan adalah ruang gaduh, namun sekaligus sunyi. Gaduh oleh 'dangdut' musik orgen tunggal dan sunyi oleh keheningan diri sendiri orang-orang yang asyik tenggelam di layar gawainya.
Ini satu kenyataan. Kenyataan lain yang tak mungkin dimungkiri adalah gaduh dan sunyi ruang pengajian. Gaduh oleh nukilan ayat-ayat suci Kalam Tuhan dan Sabda Nabi, namun sunyi oleh keasyikan sendiri juga.
Hari ini, kendati pegal badan kami masih bersisa, tak urung mengabulkan undangan teman mesti dilakoni. Ada dua tempat pesta pernikahan yang kami datangi. Cuma di tempat pertama aja kami menikmati makan.
Di tempat pertama, mestinya istri jadi panitia. Dalih masih capek, dia abaikan jadi panitia itu. Kendatipun busana kondangannya menyesuaikan dengan dress code panitia yang seharusnya dia turut jadi bagian.
Itu sekadar memenuhi request dari tuan rumah yang menginginkan atau memintanya jadi panitia. Dan, di TKP memang maching seragam yang dipakai panitia dengan baju pesta yang dia kenakan, bernuansa pink.
Di tempat pesta kedua, kami hanya mengangsurkan amplop ke dalam 'kotak amal' yang tersedia. Semula kami awam sopo sing hajatan iki. Nama pengundang yang tertera di surat undangan belum gitu familiar.
Setelah kami perhatikan, dalam hati, saya tahu kalau si Bapak rajin salat jemaah ke masjid, hanya saya tak tahu namanya. Si Ibu juga ternyata bersapaan akrab dengan istri. Oh, berarti mereka sudah saling kenal.
Mungkin juga si Ibu rajin ikut pengajian, tapi tidak saling tahu atau belum tahu nama masing-masing. Begitulah kegaliban bertetangga, kendati ketemu di masjid perkara nama jika beda RT, awam jadinya.
Gaduh maupun sunyi, cerminan dari karibnya hidup bertetangga. Gaduh dengan sapa akrab bila bertemu dan sunyi dari friksi atau konflik apabila sama-sama berusaha menjaga perasaan dan bisa menahan diri.

Komentar
Posting Komentar