Saya pikir yang namanya tribute ke seorang tokoh atau sosok tersohor dalam bidang apa pun, merupakan aprisiasi terhadap ketokohan atau ketersohorannya. Dan bentuk aprisiasi itu banyak macamnya. Jika yang bersangkutan masih hidup, maka bentuk aprisiasinya bisa membuatkan buku berupa pendapat kawan-kawannya. Misalkan judul buku “Si Fulan dan Apa Kata Kawan-kawannya”.
Dan apabila yang
bersangkutan telah tiada atau berpulang, maka bentuk aprisiasi bisa juga
berupa buku yang berisi curahan hati kawan-kawannya dalam bentuk cerpen atau
puisi. Narasinya bisa beragam menurut imajinasi si penulis. Ada yang
berupa sanjungan atas keberhasilannya menjadi tokoh begitu tersohor. Ada pula yang
“berani” menyisipkan kritik yang dibungkus dengan halus.
Untuk menghimpun
pendapat tentang “apa kata kawan-kawannya” ini, umumnya dilakukan oleh tim
panitia yang dibentuk khusus untuk membuat buku tersebut. Atau dikerjakan
oleh komunitas yang searah jarum jam dengan apa yang digeluti sang tokoh tersohor itu di masa hidupnya. Jika ia merupakan seorang sastrawan/ti, maka
komunitas sastrawan/ti yang diundang untuk ikut terlibat.
Dari mulai menghimpun
pendapat kawan-kawan hingga proses pembuatan buku, adakalanya sang tokoh
tersohor sengaja tak diberi tahu. Tujuannya untuk mencipta efek kejut saat
buku diluncurkan. Dalam hal ini, misalnya saat pembuatan buku “pendapat
kawan-kawan” untuk perayaan ulang tahun Butet Kartaredjasa. Butet sama sekali tak
diberi tahu, tapi istrinya (sepertinya) diberi tahu.
Independensi tim panitia atau komunitas yang bergerak dengan sendirinya benar-benar berdiri kokoh dan bisa bekerja secara profesional. Tidak goyah oleh “gangguan campur tangan” keluarga sang tokoh yang menginginkan begini begitu. Lain hal kalau buku dibuat atas permintaan sang tokoh atau keluarganya, tentu ada komunikasi intens. Format buku, cover, isi hingga hasil didiskusikan.
Jika keluarga tokoh
atau sosok tersohor “campur tangan” menginginkan desain buku harus begini
begitu sesuai selera mereka, maka tim panitia atau komunitas akan kekurangan
spirit energik, bahkan moodnya jadi loyo dan
terlihat seperti orang yang lemah syahwat eh… lemah semangat. Ujungnya proses
membuat buku jadi melambat atau bisa jadi gagal total alias gatot. Mau begitu?
Jangan dong, ya!
Komentar
Posting Komentar