Langsung ke konten utama

Duka Kami

Berdenyar hati melihat banjir bandang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Lebih sedih lagi tatkala Datuk Asrizal Nur, pimpinan Perkumpulan Rumah Seni Asnur (PERRUAS) mengabarkan, bahwa salah seorang penulis puisi etnik nusantara bernama Fitria wafat karena terhanyut arus banjir bandang yang beringas di Aceh itu.

Karena ada dua nama Fitria sehingga belum terkonfirmasi Fitria yang mana yang menjadi korban banjir bandang tersebut. Ucapan duka dikirim berantai di grup whatsapp puisi etnik nusantara. Duka kami semua peserta menulis puisi etnik nusantara tak tepermanai. Lebih kental lagi rasa berdukanya, tentulah semua penulis yang berasal dari Provinsi Aceh.

Buku antologi pusi etnik nusantara

Barangkali saja yang bersangkutan ada niat atau rencana hadir pada saat peluncuran buku nanti di Jambi. Rencana yang bukan saja batal, melainkan sama sekali tak terealisasi alias pupus. Begitulah kegalibannya, para manusia hanya bisa memetakan rencana dan mencoba menjalaninya. Akan tetapi, takdir Allah Swt yang menentukan peta jalan sesungguhnya.

Kendati yang bersangkutan wafat, barangkali sudah sempat menerima kiriman buku serta membaca puisi etnik yang ditulisnya termuat di dalamnya. Karena ada dua orang bernama Fitria, ada dua puisi etnik nusantara yang mencantumkan nama tersebut di atas judul puisinya. Satu puisi berjudul “Mak Meugang” dan satu lagi puisi berjudul “Aceh Ceudah.”

Buku antologi puisi etnik nusantara ini setebal 1.500 halaman (setara 3 rim kertas) ini meraih penghargaan rekor MURI kategori sebagai buku dengan penulis terbanyak. Menghimpun 1.417 penulis dari nusantara membawa kita kepada kekayaan muatan local setiap bangsa, memiliki jati diri sebagai tanda. Buku ini juga sebagai upaya menjaga warisan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...