Langsung ke konten utama

Ribet di Era Cashless

Lama benar tidak ke Griyacom. Dulu suka service PC kantor. Kemarin ngantar laptop yang ada kendala di pengisian baterai, dugaan atau asumsi sepertinya baterai sudah butuh diganti, maka langsung saja diputuskan ganti baterai.

Setelah baterai baru terpasang, tatkala dicas di rumah ternyata tidak muncul tanda pengisian daya berupa simbol 'colokan' di layar laptop aktif. Tanda tanya dan muncul dugaan atau asumsi lain, jangan-jangan charger-nya.

Pengin balik lagi ke Griyacom, tapi hujan melulu. Kendala paling complicated di musim penghujan ini terasa betul bagi keluarga yang hendak mengantar anak ke sekolah. Bila mengandalkan motor aga krusial. Biasanya macet di mana-mana.

Bagi yang punya mobil tentu tak mengapa sederas apa pun hujan, gaskeun. Selain antar anak sekolah adalah bepergian untuk keperluan lain. Begitulah, jadi tertunda rencana balik ke Griyacom untuk cek ulang laptop.

Yang berubah dari Griyacom setelah sekian lama tak ke sana adalah cewek-cewek yang melayani klien. Tampak wajah baru semua. Lah, ke mana wajah-wajah lama dulu? Mungkin terjadi reshufle melalui recruitment besar-besaran.

Lalu, antara klien dan teknisi yang menangani service laptop atau PC tidak diperbolehkan lagi bertemu langsung. Apa pasal? Saya tak menanyakan lebih lanjut. Itu bagian dari kebijakan manajemen perusahaan yang sifatnya privat.

Yang belum berubah adalah penerimaan pembayaran masih menggunakan cara konvensional pakai uang tunai. Hari gini, penjual bebek madura di trotoar (di Jakarta) aja sudah pakai QRIS. Hei, kok, kalian belum, sih!

Kalaupun tidak QRIS, paling tidak pakai debit melalui EDC. Orang tinggal kasih kartu ATM, colokkan dan proses pembayaran selesai. Hanya butuh PIN dari si pemilik ATM, selesai. Gak ribet bawa uang tunai di era cashless.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...