Langsung ke konten utama

Harga Waktu

Ilustrasi, image source: sepertikupukupu.com

Tak terasa sudah 40 hari saja. Kemarin, sore yang tersaput mendung, anak almarhum ditemani anak tetangga depan rumahnya, keliling mengantarkan undangan tahlilan memperingati 40 hari kepulangan almarhum. Bakda Asar, mendung yang tadi siangnya menyaput, akhirnya jatuh menjadi hujan. Deras.

Berharap hujan deras itu tak akan mengganggu jalannya tahlilan. Jelang Magrib dan sesudahnya malah semakin deras, menimbulkan kekhawatiran anak mantu almarhum, tentunya. Pasalnya, jelang salat Isya belum juga ada tanda-tanda hujan akan reda. Maha Kasih Allah SWT, bakda Isya hujan reda.

Jemaah masjid berduyun-duyun ke rumah almarhum, meski di tengah-tengah tahlilan sedang berlangsung hujan masih datang lagi mengguyur, tapi tak ganggu jalannya tahlilan. Alhamdulillah reda begitu doa penutup diaminkan. Lega jadinya. Hujan adalah berkah, doa di tengah hujan insyaallah diijabah.

Secara hitungan, antara almarhum yang di belakang rumah ini dengan almarhumah yang sedikit jauh ke belakang lagi, jarak meninggalnya mereka cuma berselang satu minggu, berarti seminggu lagi kembali akan ada tahlilan 40 hari di rumah almarhumah yang beberapa hari lalu suaminya juga habis dioperasi.

Di tengah musim hujan yang sedang ranum-ranumnya, bencana banjir melanda di mana-mana. Kota yang langganan banjir ini viral video banjir di mana-mana. Ada pula kabar tetangga sedang diopname di RS. Tadi malam Pak RT menunjukkan sekilas foto wajah yang bersangkutan di bangsal perawatan.

Musim hujan seperti hendak membuat waktu berhenti berjalan. Hal demikian itu menjadikan orang lupa hari dan tanggal, tiba-tiba diingatkan oleh secarik undangan. Hari itu dan tanggal ini, ada hajat pernikahan antara si X dan Y, hari lain ada kabar duka berkumandang di TOA masjid atau di grup whatsapp.

Waktu baru terasa berharga setelah ia berlalu dan kita tertinggal jauh. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. "Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian, kecuali yang beriman dan beramal salih. Demi malam apabila menutupi cahaya siang. Demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing." Itulah sumpah Allah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...