Langsung ke konten utama

Eneg, Gak Enak Ini

MBG mengancam kelangsungan hidup pedagang kantin sekolah.

MBG, makan bergizi gratis. Bagi keluarga tidak mampu yang jangankan uang jajan anak, untuk beli sembako saja susah, tentu menyambut baik program MBG pemeyintah. Tapi, ada juga yang kendati tidak oernah jajan di sekolah karena sudah sarapan di rumah, mereka bisa membandingkan menu sarapan sederhana yang disuguhkan ibunya di rumah lebih nikmat daripada MBG.

"Eneg, gak enak ini," seloroh murid yang diwawancarai kru televisi dan terpublikasi sak-Endonesiya. Ada komentar netizen; mending dikasih uang tunai saja. Ada yang menanggapi, nanti malah oleh Bapaknya dibelikan rokok. Iya juga, idealnya jangan berupa uang tunai, tapi kupon buat ditukarkan sembako di warung yang ditunjuk. Bisa multimanfaat buat para peserta didik dan pemilik warung.

Sembako itu bisa diolah oleh ibu mereka sesuai dengan selera anak-anaknya. Betapa pun kadar gizi yang tercakup dalam menu MBG, jika tidak sesuai dengan selera anak-anak, maka manfaat yang dianggap pemerintah --apa pun itu-- tidak akan ada artinya. Justru sebuah kemubaziran dan di kemudian hari program MBG itu bisa dihentikan dengan alasan yang, bisa saja dibuat-buat, misalnya tidak memenuhi sasaran dan rasa keadilan.

Jelas, bila hanya untuk peserta didik dari keluarga kurang mampu, di daerah pinggiran, terluar, terdepan, dan termiskin, bisa diterima. Tapi, bila diberikan pula kepada peserta didik di sekolah elit yang tentu saja orang tua mereka mampu memberi uang jajan, ini jelas tidak tepat sasaran dan memenuhi rasa keadilan. Ya, sekadar menjalankan janji kampanye. Malu bila tidak direalisasikan.

MBG bagi pedagang kantin sekolah menjadi semacam virus yang menyerang imunitas usaha mereka. Usah kantin sekolah kendati dikelola oleh pihak ketiga, sejak lama jadi andalan murid yang tidak sarapan di rumah untuk sekadar mengganjal perut dengan membeli kue, biskuit atau jajanan pasar yang harga belinya terjangkau kantong anak-anak yang strata ekonomi menengah ke bawah.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...