Langsung ke konten utama

Instrumental Tionghoa

Ornamen Imlek Sale di sebuah mal di Tanjungkarang.

Imlek, hari raya orang tionghoa tahun ini jatuh pada tanggal 29 Januari kemarin. Pada malam hari perayaannya itu biasanya akan turun hujan dan itu oleh mereka dimaknai sebagai berkah. Tadi malam kebetulan tidak ada hujan di Kemiling Permai dan sekitarnya. Entah juga di wilayah lain.

Di Jakarta hujan deras di malam imlek. Tentu oleh orang tionghoa disambut gembira. Mereka menganggap hujan perlambang kemakmuran. Siapa yang tidak pengin makmur? Tentu tidak ada, semua pengin makmur. Apalagi saat harga komoditas meningkat, membuat orang kesulitan menjalani hidup.

Imlek Sale di mal seperti tidak ada gunanya karena orang lebih butuh belanja pangan dibanding sandang. Kebutuhan terhadap papan pun susah dijangkau generasi milenial dan genzi. Kendati pemerintahan Prabowo menggulirkan  subsidi 'rumah murah' bagi rakyat sepertinya sulit juga dijangkau.

Bagaimana bisa menjangkau, banyak perusahaan merumahkan pekerja. Tahun 2024 ada 77 ribu lebih angkatan kerja yang terkena PHK. Sementara lapangan kerja baru sangat minim. Janji Gibran saat kampanye hendak membuka 19 juta lapangan kerja sepertinya hanya 'angin surga' belaka.

Kini wapres pilihan 'lo orang' itu cuma bisa menonton anak sekolah menikmati MBG. Ya, mungkin MBG itu di antara janji mereka yang bisa direalisasikan. Sementara menciptakan lapangan kerja adalah otoritas masing-masing perusahaan. Tidak bisa diintervensi siapa pun termasuk pemerintah.

Ornamen Ramadan sudah menghias langit-langit sebuah mal di Tanjungkarang.

Menuntaskan libur panjang pekan ini, lumayan juga menikmati nuansa 'imlek sale' di mal. Saya sampai menggoyang-goyangkan kaki mengikuti hentakan musik instrumental tionghoa yang mengalun memenuhi ruang departement store. Di samping imlek ada juga ornamen bernuansa Ramadan yang akan tiba.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...