Langsung ke konten utama

Book Thrifting

 

Kios Buku Terban di Jalan Terban, Jogja, kondisinya sepi pengunjung. (foto arlianbuana.blogspot.com)

Di Jogja ada shopping center, pusat buku bekas dan buku bajakan. Itu dahulu, zaman saya SMA dan kuliah tahun ‘80an. Sekarang sohor dengan sebutan Taman Pintar. Buku bekas dan bajakan yang lebih populer disebutnya buku loakan, pindah ke bagian sebelah dalamnya. Dahulu lagi, di sana juga pernah jadi terminal bus AKAP sebelum pindah ke Umbulharjo dan berakhir di Giwangan sekarang ini.

Berburu buku bekas atau buku loak menurut bahasa english-nya book thrifting. Bagi orang yang hobi baca sekaligus kolektor buku, niscaya akan rajin melakukan book thrifting. Haus bacaan tidak jauh beda dengan dahaga terhadap air minum. Memenuhinya tentu akan menjadi obat satu-satunya. Haus bacaan, ya, melakukan book thrifting. Begitu juga dahaga terhadap air, ya, minumlah sepuasnya.

Book thrifting tidak hanya akan mendapatkan buku bekas (preloved), tapi juga mendapatkan harga yang murah. Jika saja beruntung akan mendapatkan buku langka. Buku yang sudah tidak dicetak ulang atau tidak ditemukan di toko buku modern. Book thrifting tidak sama dengan window shopping di mal. Book thrifting dilakukan dengan sengaja karena memang sudah diniatkan pengin mencari buku.

Karena sengaja dan diniatkan, niscaya akan beli buku dong. Sementara window shopping, niat semula hanya buat ngadem di mal dan sekaligus cuci mata, tapi ketika mata basah melihat baju yang modelnya bagus dan hati tergelitik untuk memilikinya, walaupun tidak ada niat belanja, tak urung baju itu dibeli karena tertarik dengan modelnya yang uhuy atau unyu-unyu. Belanja di luar rencana kan.

Belanja tak direncanakan itu berbahaya di tengah perekonomian yang lagi sulit seperti sekarang ini. Terutama untuk barang-barang konsumsi, lebih-lebih barang mewah yang akan dikenai PPN 12 persen. Book thrifting lain soal. Buku bagus apalagi langka memiliki nilai ekonomis tinggi. Konsep ilmu yang bermafaat tidak terbatas yang diajarkan langsung. Buku yang diwariskan, sama bermanfaat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...