Langsung ke konten utama

Menulis Tangan

Ilustrasi, image source: Merdeka.com

Profesor Nedret Kiliceri mengamati bahwa banyak mahasiswa saat ini kurang menguasai dasar-dasar menulis. Mereka cenderung menghondari pembuatan kalimat panjang atau paragraph yang kohesif, lebih memilih gaya tulisan yang menyerupai unggahan media sosial. Bahkan, tidak jarang mahasiswa datang ke kampus tanpa membawa pena, bergantung sepenuhnya pada keyboard untuk mencatat dan menyelesaikan tugas.

Menulis tangan sesuatu yang telah menjadi bagian penting dalam interaksi manusia. Menulis tangan adalah keterampilan yang berusia 5.500 tahun. Generasi Z yang lahir antara 1990—2010an kehilangan keterampilan menulis tangan karena di era digital yang serba cepat ini, menulis tangan mulai terasa seperti seni yang hampir punah. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan komunikasi dan cara berpikir kita.

Kemajuan teknologi digital telah mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain. Aplikasi seperti WhatsApp dan platform media sosial seperti Instagram dan TikTok mendorong komunikasi yang serba cepat dengan pesan singkat yang dipenuhi singkatan dan emoji. Dengan dominasi platform ini, kebiasaan menulis tangan menjadi semakin jarang di kalangan anak muda. Semakin menghilangkan sentuhan personal dari tulisan tangan.

Penting untuk Otak

Menulis tangan tidak bisa dianggap sekadar aktivitas sederhana yang remeh temeh, tapi memiliki dampak besar terhadap perkembangan otak. Menulis tangan dapat membantu meningkatkan daya ingat dan pemahaman terhadap informasi yang dibaca atau didengar. Berbeda dengan mengetik di gadget atau laptop, menulis tangan melibatkan keterampilan motorik halus dan fokus mental yang dapat memperkuat pembelajaran.

Penurunan keterampilan menulis tangan bukan hanya soal mengirim surat atau kartu pos, melainkan juga berpengaruh pada cara Generasi Z memahami dunia di sekitar mereka. Menulis tangan sering kali mencerminkan komunikasi yang lebih reflektif dan personal, berbanding terbalik dengan sifat komunikasi digital yang sering terburu-buru. Twitter memengaruhi cara anak muda berbicara baik di dunia maya maupun dalam interaksi sehari-hari.

Sumber: Kompas.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...