Langsung ke konten utama

Kebiasaan yang Hilang

 

Photo Freepik by @azerbaijan_stockers

Menanamkan kebiasaan membaca kepada anak di era serba digital ini bukan pekerjaan mudah. Di mana saja, sembarang tempat, begitu mudah menemukan anak, sembarang usia, tenggelam dalam asyiknya bermain gawai. Mata mereka fokus pada layar gawai. Apa yang mereka kerjakan atau perhatikan? Kalau bukan main gim tentu film menikmati kartun atau platform media digital seperti TikTok.

Tumbuh dewasa dengan kebiasaan membaca, sejatinya penting bagi anak. Bukan perihal kemampuan mengeja huruf atau memahami kata, melainkan perihal bagaimana anak mengolah diri, hati, dan pikirannya. Membaca lebih dari sekadar aktivitas, membaca adalah percakapan diam-diam dengan pikiran manusia dari masa ke masa. Yaitu manusia yang melahirkan bahan bacaan; buku, dll.

Membaca adalah salah satu cara terbaik untuk melatih kesabaran, memahami dunia luas, dan menjelajah imajinasi yang tak terbatas. Tentu saja, di era serba digital ini, ada banyak cara belajar. Ada platform YouTube yang menawarkan kecepatan. Tapi, jangan salah, kecepatan sering kali mengorbankan kedalaman. Apalagi konten YouTube yang menyajikan produk yang dibuat setengah hati.

Apa maksud setengah hati? Sajian yang dikreasi hanya untuk tujuan viral semata tanpa keseriusan dalam membuatnya. Seperti halnya isi kebanyakan media sosial lainnya yang menyajikan kepingan-kepingan informasi secara instan. Tapi, justru serpihan-serpihan informasi yang receh atau remeh temeh yang disukai pecandu media sosial. Mereka subscribe, like, dan kasih jempol serta komen.

Mengapa mereka sukarela men-subscribe, like, kasih jempol serta komen? Karena mereka menganggap semua itu hal yang menyenangkan. Padahal, saat (kita) membaca (buku), yang akan dirasa adalah proses belajar mendengar suara yang sunyi –suara penulis (buku), suara karakter yang ada di dalam bacaan, dan bahkan suara hati (kita) sendiri. Tentu dibutuhkan kesenangan membaca.

Tanpa kesenangan (yang ditumbuhkan) membaca, tentu takkan suka membaca. Buku tidak hanya menceritakan kisah, buku mengajarkan bagaimana memahami berbagai sudut pandang. Melalui halaman buku yang dijelajah, (kita) akan melihat dunia lebih dari sekadar hidup (kita) sendiri. Membaca juga merupakan seni untuk memahami emosi tanpa mengalaminya secara langsung

Ketika (kita) tenggelam dalam cerita, secara tidak langsung (kita) mengontrol emosi. Bila menemukan karakter antagonis dalam bacaan, (kita) akan ikut marah, tapi tidak perlu harus mengekspresikannya dalam tindakan kasar. Begitu juga bila menemukan nuansa sedih dalam bacaan, (kita) akan terbawa-bawa hanyut dalam kesedihan, tapi tidak juga harus tenggelam ke dalam lubuk kesedihan.

     


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...