Langsung ke konten utama

Cinta Ibu, Sayangi Bahasa Ibu

 

ilustrasi siluet Kepulauan Nusantara yang dibentuk dari ragam kata 'apa kabar' menurut bahasa ibu daerah masing-masing dari Sabang sampai Merauke. (sumber gambar: sukabumiupdate.com)

Pada 21 Februari 1952, sekelompok mahasiswa di Dhaka turun ke jalan untuk memprotes keputusan pemerintah Pakistan yang ingin menjadikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa resmi negara. Padahal, mayoritas penduduk Pakistan Timur dan Pakistan Barat menggunakan bahasa Bengali.

Aksi sekelompok mahasiswa pada mulanya berjalan tertib, tapi berubah menjadi chaos ketika aparat keamanan memuntahkan peluru, lima orang demonstran tewas dan ratusan orang luka-luka. Peristiwa gugurnya lima mahasiswa di Pakistan itu kemudian jadi tonggak sejarah Hari Bahasa Ibu.

Mahasiswa di Pakistan rela unjuk rasa memperotes pemerintah karena mereka menilai bahasa adalah identitas yang patut dijaga keletariannya. Peristiwa berdarah di Pakistan tersebut mendorong UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Interenasional, pada 21 Februari 1999.

Cinta ibu, sayangi bahasa ibu. Tapi, realitas di lapangan, mengambil contoh kasus bahasa Lampung, bahasa ibu satu ini kian terpinggir atau sengaja dipinggirkan karena tak ada pembiasaan menggunakannya sebagai bahasa percakapan sehari-hari ulun Lampung, terutama di kota Bandar Lampung.

Bukan tidak ada sama sekali. Ada sih ulun Lampung di Bandar Lampung satu dua yang masih suka bercakap-cakap menggunakan bahasa Lampung. Kendati di pekon-pekon (kampung-kampung) agaknya masih banyak penutur bahasa Lampung dari kalangan generasi baby boomers, menuju arah kritis.

Menuju arah kritis atau sebelum benar-benar kritis. Tapi, seiring generasi baby boomers surut ke akhir hayat, lambat laun akan habis setelah para tetua telah tiada. Generasi milenial ke sini hingga nanti generasi alpha menjadi penghuni mayoritas, tidak dimungkiri Lampung akan kehabisan penutur bahasa ibu.

Selamat hari bahasa ibu internasional… hidup bahasa ibu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...