Honor Puisi

Sekadar ilustrasi. Image source: Selular.ID

Di masa koran cetak memangkas halaman dari berjumlah puluhan menjadi tinggal 16 halaman bahkan 8 halaman, banyak rubrik dihilangkan. Kompas yang tinggal 16 halaman masih setia menampung cerpen. Sementara puisi dialihkan ke Kompas.id yang untuk bisa mengaksesnya mesti berlangganan.

Beruntung ada banyak media online yang peduli pada literasi sastra dan budaya. Cerpen dan puisi yang masuk meja redaksi dikurasi dengan ketat. Yang lolos kurasi ditayangkan dan yang (mungkin) tidak lolos kurasi tidak jelas kabarnya. Tidak ada pemberitahuan resmi dari mereka. Mengambang. Pengirim menunggu kali aja akan tayang.

Ada sedikit media yang memberi tanggapan. Membalas e-mail, kasih tempo sekian hari (dua pekan) akan memuat atau bila tidak dimuat, si pengirim dipersilakan mengirimkan karyanya ke media lain. Ada sedikit media lainnya bahkan kasih honor kepada si pengirim karya sastra. Ini terbilang media yang jempolan.

Bukan tentang jumlah honor yang diberikan, melainkan tentang apresiasi terhadap si pemilik karya atas proses berpikir dan dedikasi bertungkuslumus dalam melahirkan karya tersebut. Sebenarnya tanggapan saja cukup bahwa karya yang dikirim telah diterima dan dipertimbangkan akan dimuat atau tidak.

Untuk puisi yang saya kirim, satu media memberi tanggapan, tapi hingga tulisan ini diposting, belum ditayangkan. Satu media langsung menayangkan dan memberitahu bahwa puisi yang saya kirim telah ditayangkan. Hebatnya lagi dijanjikan honor akan ditransfer dua pekan ke depan.

Betul juga rupanya. Kemarin mereka minta norek dan beberapa jam kemudian bukti transfer dikirim. Honor puisi dari zaman dikirim via wesel pos di era Orde Baru hingga ditransfer via m-banking di era "Pagar Laut" sesuatu yang menyenangkan bagi seorang penulis (cerpen, puisi, esai, dan artikel).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan