Perhelatan Puitis

 

 
Dua buku Kang Maman dan buku "Menempuh Perjalanan Terjauh"-nya Mamang Muhamad Haerudin dipilih istri dari bazar buku Gramedia di Mal Kartini, Senin (10/2).

Lima eksemplar buku masing-masing berjudul “Kitab Opini Maspril Aries –Untuk Literasi dan Jurnalisme”, “Hahiwang –Koleksi Mamak Lawok”, “Ranglaya Mulang –Sang Himpun Sajak”, “Lehot Meranai Sai jama Kundang ni –Sang Himpun Sajak”, dan “Minan Lela Sebambangan –Selusin Cerita Buntak” kemarin saya angkut dari penerbit Pusta LaBRAK.

Seperti sudah saya singgung di postingan blog kemarin, buku “Minan Lela Sebambangan” karya Udo Z Karzi yang berisi selusin cerita buntak, diganjar Hadiah Sastera Rancagé dari Yayasan Kebudayaan Rancagé yang didirikan budayawan Ajip Rosjidi. Ini untuk kali ketiga Z Karzi meraih penghargaan khusus untuk karya sastra berbahasa daerah tersebut.

Ragah Liwa paruh baya itu memang bisa dikatakan sedikit dari sastrawan, penulis, budayawan bertutur bahasa Lampung yang mau menempuh ‘jalan sunyi’ (seperti yang ia rasakan) dalam menekuni menulis puisi, cerita buntak atau novel berbahasa Lampung. Tapi, ketika ketekunannya itu berbuah manis berupa penghargaan Rancagé, lelah terobati.

Lelah yang saya maksud bukan hal ketekunan menulis karya sastra Lampung dan diterbitkan menjadi buku, melainkan lelah berharap barangkali saja ada penutur bahasa Lampung (yang berkemampuan yang sama dengannya) tergerak hati untuk mau mengikutinya, paling tidak mencoba mempertaruhkan kemampuan dan keberanian melahirkan karya sastra.

Tergerak hati itu, ya, barangkali didorong oleh rasa pengin pula meraih penghargaan Rancagé. Tapi, sejauh ini memang betul-betul melelahkan ketika tak ada penulis di Lampung yang mau membuat karya sastra berbahasa Lampung. Pertama, karena itulah ‘jalan sunyi’ yang siapa sudi menempuhnya. Kedua, siapa yang sudi membeli buku sastra Lampung.

Bukan semata-mata karena ‘sastra Lampung’-nya, melainkan karena di era digital ini, lanskap media telah berubah signifikan. Buku cetak tidak lagi menjadi satu-satunya medium dalam memenuhi keinginan membasuh dahaga membaca. Sehingga jangankan buku sastra Lampung, sastra Indonesia saja susah laku. Toko buku dan perpustakaan makin sepi.

Kalaupun ramai pengunjung, kebanyakan hanya lihat-lihat doang lalu mengeluarkan gawai dari saku, ceklak-ceklik selfi. Toko buku pun menarik bagi anak-anak baru gede untuk wadah ngonten. Di Gramedia setiap pekan ada buku baru, tapi sangat mungkin hanya akan teronggok berdebu. Maka, di Jogja toko buku tidak melulu jualan buku, jualan kopi juga.

Kalaupun tidak dapat cuan dari jual bukunya, ya, dari kopi itu pengelola dapat cuan. Dengan sendirinya kelangsungan hidup usaha jualan buku bisa diupayakan bertahan. Ada juga pemilik kafe buku, menyiasati agar banyak pengunjung dengan menghelat acara baca puisi. Bikin panggung terbuka, mengundang penyair-penyair kondang unjuk kebolehan.

Perhelatan Puitis. Barangkali tidak berlebihan mengatakannya demikian. Atau acara yang lebih serius dan mendekati kaidah “perhelatan puitis” adalah menggelar lomba menulis puisi secara spontan. Itu tentu menantang sekali bagi pengunjung kafe buku yang kebanyakan para perantau dari mana-mana. Sebagai kota pelajar, Jogja memiliki banyak potensi.

Potensi puitik salah satunya. Hobi membaca (seperti yang tukul kemudian menubuh dalam diriku, ehemmm…..) bisa memantik seseorang mencintai sastra dan menumbuhkan pula kemampuan menulis. Lanskap media memang sudah berubah, mengirimkan karya sastra ke koran bukan zamannya lagi, menerbitkannya menjadi buku, ‘jalan sunyi’ dalam bentuk lain.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Angin Laut Pantura

Rumah 60 Ribuan