Langsung ke konten utama

Hujan Malu-Malu

Mbok Wito Resto Jl. Pramuka.

Pagi tadi hujan malu-malu, padahal cuaca subuh tadi baik hati. Bulan lebih dari separuh di tanggal 12 Muharam, dua malam lagi wajah purnama di tanggal 14 akan terlihat glowing. Entah mengapa kok pagi menangis. Entah dari mana datangnya, hujan tiba-tiba saja terlihat berkeliaran, membuat orang menggerutu sepanjang jalan atas macet yang aduhai.

Beruntung ada moda transportasi online, hujan pagi tidak menjadi halangan untuk pergi. Ke kantor, sekolah, pasar atau ke tempat mana pun orang hendak menuju. Tinggal pilih saja operator dan buka aplikasi, klik dan klik, jadi. Bike atau car yang dipesan akan tiba dalam waktu yang tidak tentu, apalagi saat hujan begini, crowded niscaya di mana-mana.

Car yang kami berdua istri pesan tampak di layar ponsel pada posisi daerah Kurungan Nyawa. Sepertinya tidak ada kemacetan cukup berarti di jalan arah Pesawaran itu, car datang lumayan cepat. “Maaf, ya, Pak, saya bawa istri,” kata driver. “Oh, tidak apa-apa,” sahut kami berdua sambil masuk dan menutup pintu. Cusss berangkat di bawah gerimis.

Ke arah Gulak-Galik titik tujuan. Semula driver mengarahkan mobil keluar ke Jl. Pramuka. Eit, macet panjang mengular sepertinya, langsung ia banting stir di U-turn depan Kanor Samsat mengarah ke Kemiling atas bablas flyover Jl. Teuku Cik Ditiro dan lewat Lembah Hijau. Perjalanan lancar, ada tersendat sedikit dan sampai tujuan kurang dari pukul 08:00.

Urusan kelar pukul 11:00, pulang bareng Pak dan Bu Thoha ke arah Unila, Pak Thoha absen dan kami menunggu di rumah indekos milik mereka, ngaso menunggu zuhur. Usai zuhur pulang ke BKP dan mampir maksi di Mbok Wito Resto Jl. Pramuka. Gurami asam manis yang memang manis bikin lidah yang biasa pedas jadi asing. Bah, kenyang kali aku.

Mbok Wito Resto yang lagi naik daun, bikin rumah makan penjual pindang di sebelahnya tampak mulai sepi pengunjung. Begitulah fenomena yang jamak terjadi. Jika muncul pemain baru (kompetitor) yang kemajuannya pesat melejit, maka pemain lama akan ngos-ngosan dibuatnya. Begitulah penjual pindang itu, ngos-ngosan dan akan jatuh terhuyung.

    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...