Langsung ke konten utama

Peraturan yang Keras Kepala

Ilustrasi, image source: DataIndonesia.id

Senin lusa tahun ajaran baru 2024/2025 dimulai. Ada anak yang baru mau mulai belajar di TK, yang tamat TK ke SD, SD ke SMP, SMP ke SMA/SMK. Kakak-kakak yang lulus SMA/SMK akan mengganti status di profilnya sebagai mahasiswa.

Sejak diberlakukan sistem zonasi, pupus peluang anak untuk bersekolah di sekolah favorit seperti SMP 2 dan SMA 2 Bandar Lampung. Begitu pun di daerah lain, misalnya Jogja yang jadi favorit SMA 3 Padmanaba dan SMA 1 Teladan.

Tidak memungkinkan lagi bagi anak untuk melanjutkan SMA ke luar daerah. Misalnya, seperti tahun ’80—‘90an ke Bandung, Semarang, dan Jogja. Kecuali mengikuti orang tua yang pindah tugas, memang ada opsi ketentuannya.

Sistem zonasi telah membuat orang tua mati gaya. Meski ada opsi afirmasi, tetapi peruntukannya hanya terbuka bagi mereka yang tergolong kurang mampu. Mereka yang mampu apalagi membanggakan diri sebagai orang kaya, disuruh minggir.

Sekolah swasta grade A begitu diminati orang tua yang menginginkan putra/putrinya mendapat pengajaran yang unggul. Tentu saja berlaku ketentuan ‘ada harga ada barang’ sebab kualitas sekolah tersebut sesuai, bayarannya juga grade A.

Apakah tidak mungkin menemukan ‘jalan tikus’ untuk bisa menyekolahkan anak di sekolah impian, misal SMA 2 atau 9? Oh, tentu saja ada. Yang bisa dapat ‘jalan tikus’ itu pastilah mereka yang punya kapasitas menemukannya.

Orang yang biasa-biasa saja niscaya akan menghadapi prosedur yang berlaku. Verifikasi data oleh petugas survei datang ke rumah akan dijalankan dengan transparan, akuntabel, dan penuh tanggung jawab oleh guru atau petugas yang ditunjuk.

Jadi, bagi anak yang gagal mewujudkan harapan bersekolah di sekolah impian, bersyukurlah menerima apa yang ada. Apadaya ketatnya pagar zonasi tak bisa ditembus dengan cara bagaimana pun. Semangatlah belajar.

Ikhlaslah terhadap ketentuan nasib. Di Bantul, DIY, ada anak peringkat pertama di daftar PPDB, tetapi karena usianya masih 12 tahun 7 bulan ia terancam tak bisa masuk SMP Negeri karena terkendala ketentuan yang kaku, usia minimal 13 tahun.

Sungguh naif dan kurang bermutunya kebijakan di bidang pendidikan di negeri ini. Dengan cara apa menggapai Indonesia Emas Tahun 2045 jika karut marut PPDB terjadi di mana-mana oleh kebijakan yang kaku dan peraturan yang keras kepala.


Di Musim Tahun Ajaran Baru


Puisi Zabidi Yakub


Hari-hari di musim seperti ini
Banyak kepala sesak oleh kalkulasi angka
Angka yang menunjukkan usia anak di akte
Apakah bersesuaian ketentuan batas usia?

Di musim tahun ajaran baru
Batas usia dan jarak zonasi yang ditetapkan
Bukanlah angka hasil hitung mencongak
Melainkan ketentuan pemerintah yang absurd

Angka-angka yang membuat getir dan nyeri
Membuat asam lambung naik, meraba ulu hati
Membuat tangan orang tua gemetar dan kebas
Bila meraba kantong, isinya membuat was-was

Meski uang telah dianggarkan
Tidak bisa ‘membeli’ sekolah dambaan anak
Impian hendak belajar di sekolah idaman
Pupus oleh ketatnya sisem zonasi

Musim-musim seperti ini
Libur sekolah, tahun ajaran baru menunggu
Vakansi ke desinasi wisata hanya obsesi belaka
Tabungan terkonsentrasi buat biaya sekolah

Musim-musim seperti ini
Titik Nol Jogja atau butiran embun di Dieng
Bukanlah prioritas untuk dikunjungi
Di sekolah mana anak diterima, itu pikiran

Wajah istri bisa cantik disulap skin care
Tidak begitu wajah pendidikan di negeri ini
Aturan tak selentur pedestrian Malioboro
Bikin pusing, seperti tersengat aroma belerang

Wajah orang tua diliputi selaksa rupa murka
Pada kebijakan absurd menteri pendidikan
Amarah di dada ditahan, jangan erupsi
Agar tidak tererosi, membobol kesadaran diri

Magma emosi tak urung membentuk air mata
Siap menganak sungai hanyutkan kesedihan
Meski ada opsi afirmasi, kepindahan orang tua
Nyatanya, zonasi pagar ketat semua peluang

Afirmasi diperuntukkan orang miskin
Tidak boleh disalahgunakan mereka yang kaya
Sebagai ‘jalan tikus’ meloloskan anaknya
Bisa diterima di sekolah yang diimpi-impikan

Kepindahan orang tua juga tidak ujug-ujug
Alasan tugas harus dipertanggungjawabkan
Tidak asal pindah KK demi ketemu ‘jalan tikus’
Anaknya bisa diterima di sekolah impian


Kemiling Permai, 12 Juli 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...