Langsung ke konten utama

Menduda vs Menjanda

Masjid Ad-Du'a

Tadi pagi ikut kajian di masjid Ad-Du’a, acara dimulai selepas dhuha. Ustaz menceritakan kisah zaman Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam perihal pasangan suami istri. Apa yang terjadi bila salah satu ditinggal wafat oleh pasangannya. Menikah lagi?

Suami yang ditinggal wafat istrinya, umumnya atau hampir pasti akan menikah lagi. Tidak mutlak semua pasti memang, ada yang memilih menghabiskan masa tua dengan menduda. Tapi, jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan kembali menikah.

Yang sedikit itu tergolong suami yang setia? Bisa jadi iya, namun bisa juga karena ada pertimbangan lain sehingga ia memutuskan tidak menikah lagi dan meneruskan kehidupan dengan status dudanya secara mandiri hingga akhir hayatnya.

Istri yang ditinggal wafat suaminya, sama besar peluangnya untuk menikah lagi. Yang bertahan menjanda hingga akhir hayat juga tidak sedikit. Pertimbangan untuk menikah lagi itu macam-macam. Ada yang karena pengin butuh memiliki imam.

Imam atau pemimpin dalam rumah tangga, bagi seorang janda mahmud (mamah muda), bisa dalam arti untuk ‘supir cadangan’ bagi armada rumah tangga yang ‘setengah karam’ karena ditinggal suaminya wafat agar perjalanan terus ditapaki.

Bisa juga dalam arti untuk memenuhi kebutuhan anaknya akan sosok ayah yang hilang. Dengan hadirnya ayah pengganti, anak bisa memperoleh bimbingan tidak hanya dari ibunya semata, tetapi juga dari ayah untuk sebuah bimbingan yang ideal.

Apa yang terurai di atas adalah dari segi psikologi sosial. Yang menarik dari kajian dhuha tadi, ustaz menyampaikan kisah bahwa istri yang ditinggal wafat suaminya lalu dia tidak menikah lagi, maka kelak mereka akan kembali dipersatukan dalam surga.

Sementara istri yang menikah lagi setelah bercerai (ditinggal wafat suaminya), kelak di akhirat boleh memilih lelaki mana yang akan jadi pendampingnya di surga. Yang menikah beberapa kali kelak akan berpasangan dengan suami terakhirnya.

Pernyataan di atas sejalan riwayat; “Hudzaifah Ibnul Yaman mengatakan kepada istrinya, ‘Jika kau ingin aku menjadi suamimu di surga, jangan kau menikah sepeninggalku karena perempuan di surga adalah bagian dari suami terakhirnya di dunia’.”

Dahulu di kampung halaman saya yang asri di tepi Danau Ranau, tetangga ditinggal wafat istrinya bertahan menduda. Ternyata usianya tidak panjang. Pak RT kami hanya satu tahun menduda kemudian menyusul istrinya yang wafat mendahuluinya.

Masih kerabat, nih, mungkin nggak kuat melewatkan masa senja dengan menduda, ia pun menikah lagi. Kini kondisinya sehat dan masih kuat ke mana-mana dalam usia 83 tahun. Mungkinkah karena ia menikah lagi? Wallahu’alam bish shawab.

Ya, begitulah, menduda atau menjanda. Ada yang kuat ada yang tidak. Janda lebih panjang umur dibanding duda. Karenanya, duda lebih banyak yang memutuskan menikah lagi. Tuntutan psikologis untuk ketenangan batin lebih terasa ketimbang tuntutan kesenangan.

Antara ketenangan dan kesenangan tentu berbeda. Menikah lagi belum tentu membuat batin senang. Bisa jadi malah tambah runyam kehidupan. Tetapi, dengan menikah lagi, bila bisa menghadirkan kesenangan, dengan sendirinya ketenangan ikut muncul.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...