Langsung ke konten utama

Salah Tangkap Melulu

Puisi Mata Luka Sengkon Karta ini Peri Sandhi bacakan dalam acara Tadarus Puisi Ramadhan pada 2017 lalu (ss kanal youtube Fadli Zon)

Putusan atas gugatan praperadilan yang diajukan tim kuasa hukum Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar, setelah disidangkan dengan hakim tunggal Erman Sulaeman di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Senin, 1 Juli 2024 berakhir klimaks, Pegi Setiawan bebas demi hukum.

Akhirnya terbukti polisi salah tangkap. Bisa juga dikatakan tergesa-gesa dalam menetapkan tersangka. Jika betul tersangka pembunuhan Vina dan Eki bernama Pegi Setiawan alias Perong, maka polisi harus bisa memastikan secara pasti yang mana orangnya. Tidak boleh asal tunjuk.

Tidak boleh asal tangkap dan ditetapkan sebagai pelaku apalagi dikatakan sebagai ‘otak pembunuhan’ tanpa bisa dipertanggungjawabkan. Betapa banyak orang bernama Pegi Setiawan. Sebagai bukti, ditengarai ada pula Pegi Setiawan bin Cecep beralamat di Cianjur, Jawa Barat.

Pengacara Pegi Setiawan Cirebon mempertanyakan mengapa polisi tidak menangkap Pegi Setiawan yang di Cianjur ini? Satu hari sebelum sidang praperadilan, Pegi Setiawan dan Cecep pergi dari Cianjur arah Purwakarta, terdeteksi berhenti di rest area tol Cipularang Km 88B.

Begitulah yang saya tangkap dari akun facebook Susi Fi Albi. Pegi Setiawan dan Cecep pergi meninggalkan Cianjur, jangan-jangan indikasinya untuk kabur menghindari penangkapan aparat kepolisian. Jangan-jangan itulah Pegi Setiawan sebenarnya yang bisa ditetapkan tersangka.

Sekiranya benar polisi hendak membongkar ulang kasus pembunuhan Vina dan Eki, sekiranya ada niat hendak menuntaskan kasus secara transparan, dari adanya sosok Pegi Setiawan Cianjur itu penelusuran bisa dimulai, tetapi jangan terulang salah tangkap. Salah tangkap melulu.

Cukuplah salah tangkap terjadi di era Orde Baru. Sengkon dan Karta, rakyat kecil yang tidak mengerti apa-apa, dijadikan tersangka dan dipenjara. Di era serba digital ini tidak pantas lagi ada kasus salah tangkap. Kasus Vina-Eki bisa ditelusuri melalui percakapan di gawai mereka.

Audit forensik terhadap gawai korban akan membantu menemukan titik terang latar belakang terjadinya pembunuhan. Niscaya ada percakapan (chat) yang melibatkan beberapa pihak sebelum kejadian. Dari situlah bukti-bukti bisa dipetakan untuk diarahkan kepada siapa tersangkanya.

Cukuplah sakitnya Sengkon Karta. Jangan lagi ada orang yang tidak tahu apa-apa dijadikan korban salah tangkap. Sengkon Karta yang mengenaskan memantik iba siapa saja. Peri Sandhi sampai menumpahkan perasaannya pada bait-bait puisi panjang di bawah ini. Simak, resapi.


Mata Luka Sengkon Karta

 

Serupa Maskumambang

Pupuh mengantarkan wejangan hidup

Kecapi dalam suara sunyi menyendiri

 

Pupuh dan kecapi membalut nyeri

Menyatu dalam suara genting

Terluka, melukai, luka-luka

Menganga akibat ulah manusia

 

Terengah-engah dalam tabung dan selang

Aku, seorang petani Bojongsari

Menghidupi mimpi

Dari padi yang ditanam sendiri

 

Kesederhanaan panutan hidup

Dapat untung

Dilipat dan ditabung

 

1974 tanah air yang kucinta

Berumur dua puluh sembilan tahun

Waktu yang muda bagi berdirinya sebuah Negara

 

Lambang garuda

Dasarnya Pancasila

Undang-undang empat-lima

Merajut banyak peristiwa

 

Peralihan kepemimpinan yang mendesak

Bung Karno diganti pak Harto

Dengan dalih keamanan Negara

 

Pembantaian enam jendral satu perwira

Enam jam dalam satu malam

Mati di lubang tak berguna

Tak ada dalam perang mahabharata

Bahkan di sejarah dunia

Hanya di sejarah Indonesia

 

Pemusnahan golongan kiri

PKI wajib mati

 

Pemimpin otoriter

REPELITA

Rencana pembanguna lima tahun

Bisa jadi rencana pembantaian lima tahun

 

Di tahun-tahun berikutnya

Kudapati penembak misterius

Tak ada salah apa lagi benar

Tak ada hukum Negara

 

Pembantaian dimana-mana

Diburu sampai got

Dor di mulut

Dor di kepala,

Diikat tali

Dikafani karung

 

Penguasa punya tahta

Yang tidak ada

Bisa diada-ada

 

Akulah sengkon yang sakit

Berusaha mengenang setiap luka

Di dada, di punggung,

Di batuk yang berlapis tuberculosis

 

Malam Jumat,

21 November 1974

Setiap malam jum’at

Yasin dilantunkan dengan khidmat

Bintang-bintang berdzikir di kedipannya

Suara-suara binatang melengkingkan pujian-pujian untuk Tuhan

 

Istriku masih mengenakan mukena

Mengambilkan minum dari dapur

Di kejauhan terdengar warga desa gaduh

'Adili saja si keluarga rampok itu!'

'Ya… usir dari kampung ini!'

'Bakar saja rumahnya!'

'Betul!'

 

Dilubang bilik

Ada banyak obor dan petromak menyala

Teriakan tegas

‘Saudara sengkon,

Saudara sudah dikepung ABRI

Kalau mau selamat menyerahlah

Saudara tidak bisa kabur’

 

Istriku kaget

'Kok kamu, kang?'

Kebingungan

'Demi Allah saya tidak berbuat jahat!'

 

Masih dalam suara yang sama

‘Kalau saudara tidak mau keluar dalam hitungan tiga

Kami akan mengeluarkan tembakan peringatan

‘Satu! Dua! Ti …’

Secepat yang kubisa

 

Di pintu,

Ratusan warga mulai melontarkan sumpah serapah

 

Anjing...babi...bagong...tai...sampah

 

Segalanya ada di mulut warga

Kata-kata tak mewakili perikemanusiaan

Warga desa bengis seperti serigala

Taka da rasa kasihan

 

Dari batu sampai bambu

Dari golok sampai balok

DIacung-acungkan ke arahku

 

Serentak berkata

‘Allahu Akbar’

Batu, bambu dan balok beterbangan ke arahku

 

‘Saudara-saudara sekalian

Tolong hentikan

Biar pengadilan yang menentukan hukuman’

 

Aku masih diselimuti kebingungan

Disambut rajia seluruh badan

Kepalaku ditodong senjata laras panjang

Mendekati puluhan ABRI dan Polisi

 

Ya… gantung saja!’

‘Dasar orang yang tak tahu diri!’

‘Sampah masyarakat!’

 

Duk! dak!

Aku dikerumuni pukulan warga

ABRI dan Polisi ikut-ikutan menendang

 

Dor!’

Suara tembakan di langit terdengar sayu

Aku terkapar di tanah

 

Seorang ABRI menggusurku

Darah dan becek tanah bercampur di rubuh

Aku dilemparkan ke atas bak mobil

Kondisi diantara sadar atau tidak

 

Selang kejadian

Sesosok tubuh dilemparkan lagi ke atas bak mobil

Kuperhatikan wajah yang penuh luka itu

‘Karta’

 

Kami ditangkap atas tuduhan perampokan

Juga pembunuhan


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...