Syarat Tanpa Tapi
Menulis puisi adalah memberdayakan imajinasi. Puisi non tematik, rasanya saya tidak begitu kesukaran mengarangnya, diksi yang biasa dipergunakan sehari-hari akan membentuk kalimat dengan sendirinya setelah saling menemukan kemistri bunyi. Hanya butuh sedikit revisi, jadilah puisi.
Ketika dihadapkan pada even lomba, sayembara atau apa pun sebutannya,
saya sedikit merasa terbebani bila ada persyaratan dan tema tertentu. Beruntungnya
hanya sedikit sehingga dengan mengerahkan kemampuan yang minimalis, puisi
sederhana pada akhirnya tercipta sementara.
Sementara di sini maksudnya masih setengah matang. Agar benar-benar matang maka butuh beberapa kali bongkar pasang, self editing, tukar tambah atau gali buang. Puisi yang setengah matang dibongkar dan pasang ulang dengan menukar kata hasil penggalian, kata yang tak terpakai dibuang ‘sayang’.
Dari beberapa even sayembara menulis puisi, pada akhirnya puisi yang
matang yang tentunya dikirim ke e-mail
panitia. Puisi yang tidak benar-benar puitis, tetapi yang tidak asal jadi juga.
Lolos kurasi atau tidak itu nomor tujuhbelas, sedangkan ekspektasi jangan jadi
sebuah beban yang memberatkan.
Beban, sesuatu yang dipikul, dijunjung, dan sebagainya yang memberatkan. Karena itu, saya membebaskan diri dari ekspektasi agar tidak menjadi beban. Kirim naskah ke even lomba atau sayembara, ya, kirim saja. Lepaskan karya walaupun ada syarat nanti akan menjadi hak ‘milik’ panitia.
Rasanya berat hati, ya, karya kita kok jadi hak panitia. Hak kekayaan intelektual apa gunanya. Tetapi, itu ketentuan atau syarat yang mesti diikuti oleh peserta tanpa kecuali. “Syarat tanpa tapi” kurang lebih begitu saja mereknya. Jadi, tidak boleh ada ‘tapi-tapi’an, ikuti saja alurnya ke mana pun muaranya.
Komentar
Posting Komentar