Mengadon Rasa
Tentang menulis, apa saja, adalah laku manusia mengadon rasa. Prosa, puisi, esai atau karangan bebas tanpa tema, hanya akan lahir dari apa yang dirasa oleh penulisnya. Merasa sedih, tentu tulisannya akan terasa melankolis, entah kadar sedihnya sedikit atau banyak.
Begitu juga bila sedang gembira, yang ditulis tentang keceriaan yang
dirasa. Marah yang diekspresikan ke dalam bentuk tulisan, misalnya dijadikan
status di facebok, X, IG, postingan di blog
atau jadi konten di TikTok, akan dikenali pembaca, itu ekspresi amarah.
Tentang menulis, apa saja, adalah laku manusia melibatkan suasana hati (mood). Bila mood sedang baik-baik saja, menulis apa saja akan lancar-lancar
saja. Begitupun sebaliknya, akan tersendat-sendat bila sedang tidak mood atau sedang dilanda depresi (murung).
Dalam keadaan mood yang baik, imajinasi
jernih, ide datang menghampiri, seorang penyair bisa mengarang 5–10 puisi dalam
sekali duduk atau sepanjang tegukan kopi. Kalaupun kopinya habis, tinggal
ampas, ampas kopi pun bisa jadi puisi di tangan penyair.
Pernah ada kawan berkelakar, “Si ‘Anu’ (menyebut nama seorang penyair)
itu, kakinya kesandung kerikil saja bisa jadi puisi. Apalagi kalau memang
sengaja mencari inspirasi.” Aku pikir, kelakar kawan itu beralasan. Dan, memang
begitulah penyair yang dimaksudnya.
Pada akhirnya, laku manusia mengadon rasa dalam hal menulis apa
pun ia/dia, pembaca sebagai pengecap rasa, akan membatin ‘rasa’ tulisannya
enak atau tidak. Nah, siapa yang tidak pengin tulisannya ‘enak dibaca dan perlu’
seperti tagline Majalah Tempo.
Tentu butuh elaborasi untuk menghasilkan tulisan yang bagus. Alih-alih ‘enak dibaca dan perlu’, untuk sampai pada kontinyu, konsisten, dan ajeg saja cukup membutuhkan energi. Kebanyakan orang mandeg menulis atau vakum sama sekali karena ‘kurang energi.’
Komentar
Posting Komentar