Langsung ke konten utama

Barbershop Klik di Hati

Ilustrasi, barbershop. Image source: Traveloka

Sebenarnya di perumahan ada tujuh titik barbershop tempat pangkas rambut, tapi saya lebih seru eh sreg potong rambut di Kemiling.

Ada satu jenama barbershop sudah dari zaman anak-anak masih SD kami datangi saban hendak menghindari setrap guru mereka.

Pernah karena delay memotong rambut mereka, ketika hari Senin sekolah, gurunya berulah memotongi rambut secara acak kadut.

Menggunting rambut dalih sanksi bagi murid lelaki yang sedikit gondrong, itu menimbulkan pitak –kata ulun Lampung– di sana-sini.

Tak urung pulang sekolah si anak minta diantar ke barbershop. Nah, barbershop yang klik di hati, ya, barbershop di Kemiling atas itu.

Meskipun saat itu ada barbershop satu-satunya di perumahan, tapi ke Kemiling atas itulah yang sering dituju, jadi langganan akhirnya.

Mengapa begitu? Ya, masalah klik di hati itu. Meski ada yang dekat kalau tidak klik di hati, apa boleh buat yang jauh itu yang didatangi.

Tadi siang saya potong rambut di situ. Yang jaga bukan yang biasanya. Ia orang baru, katanya, biasa praktik barber di Pahoman.

Baru Januari kemarin ia pindah ke barbershop langganan kami itu. Tempat tinggalnya, katanya, di dekat SMA 7 atau SLB, gitu.

Menjawab pertanyaannya, obrolan kami berkembang ngalor ngidul, saya katakan langganan di situ sejak anak-anak masih SD.

“Sekarang anak-anak di mana, Pak?” “Yang sulung di Surabaya, marriage Januari kemarin, ragil di Jakarta, sudah pada kerja,” jawabku.

“Berarti sudah pensiun, ya, Pak?” lanjutnya. “Iya, sudah lansia, nih, sekarang.” “Oh, tapi, rambutnya masih hitam ini, Pak,” kilahnya.

“Itu yang sering bikin orang gak percaya pada umur saya. Disangkanya saya semir. Padahal, belum pernah saya semir-semir rambut.”

Dengan mengobrol begiu saya urung ngantuk. Biasanya sewaktu pangkas rambut saya mesti digoda kantuk. Ada kalanya saya meremkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...