Langsung ke konten utama

Mencatat Sesuatu

Meluncur sudah di 10.15 WIB tadi, seukuran A4 e-mail buat antarkan lima judul puisi dengan tema zamrud untuk diikutkan antologi puisi DNP 15 yang ditaja Komunitas Radja Ketjil atau Dari Negeri Poci untuk periode ke-15. Baru kali ini mengikuti DNP, barangkali aja ada keberuntungan, ada hoki. Siapa tahu kan!

DL masih lumayan lama, 30 Juni. Karena minimal lima puisi, agak sikit kerja keras mengelaborasi isi kepala. Baru saya bikin puisinya sejak tiga hari lalu, beguyur bae, sikok duo jadi limo. Untuk antologi bertema Teh, Imajinasi, Puisi masih ada waktu dua hari menuju tenggat 20 Juni, tapi saya sudah kirim pada 6 Mei lalu. Lepas separuh beban. 

Ilustrasi teh poci (creator: Albert AF/Shutterstock)

Setelah utak atik tema blog dan menemukan tema yang sekarang, saya perhatikan post blog yang tidak dihiasi foto ataupun ilustrasi di atasnya, menampilkan drop cop. Kemarin lanjut eksperimen, bagaimana kalo foto atau ilustrasi ditaruh di tengah-tengah/diselipkan di badan tulisan, masihkah tampil drop cop?

Ternyata iya, tetap. Lead tetap membentuk drop cop pada aksara awal kata permulaan tulisan. Nah, jadi exited dengan penampilan blog ini sekarang. Tentang konsistensi saban hari ngeblog, ya, sekuat dan seketemunya bahan tulisan, niscaya terus menerus saya lakoni. Hitung-hitung mencatat sesuatu.

Ada orang tuh mencatat sesuatu di laman facebook, ada yang di Instagram, ada yang di X (dahulu twitter), ada pula yang di Thread. Tergantung kesenangan masing-masing. Daripada tidak mencatat, tidak menulis, lama-lama cepat pikun. Apalagi kalau tidak membaca, sukanya scroll TikTok, beku otak.

Selumbari (kemarin dulu atau kemarin lusa) dengan istri ke Bambu Kuning menjahitkan bajunya di tukang jahit khusus vermak. Ada dua bapak-bapak tamu si bapak penjahit, keduanya seru berdebat tentang Covid-19. Yang satu bilang Covid mulai tahun 2019, yang satu membantah, bilang mulai 2020.

Diam-diam saya membuka blog ini melalui ponsel. Catatan saya tentang Covid-19 saya kasih label. Jadi mudah melacaknya. Kendati begitu, saya tak terhasut untuk ikut pusaran debat kedua bapak itu. Istri saya pun cuma diam menyimak debat kusir tentang Covid-19, larangan ke mana-mana, dan vaksin.

Jadi, pentingnya mencatat sesuatu, secara tak langsung akan berguna kelak kemudian hari. Kedua bapak itu, yang seorang adalah driver ojol, terdengar lebih paham urusan. Ia pemilik statemen Covid-19 mulai tahun 2019 Kenapa ada kode 19? tanyanya. Ya, karena mulainya tahun 2019 itu. Benar kiranya ia.

Bahkan ia tahu korban pertama Covid-19 di Indonesia. “Budi Karya Sumadi,” katanya. Lanjut ia menantang lawan debatnya, “Siapa yang pertama kena Covid-19 di Lampung?” Dijawab sendiri. Tapi, saya pikir jawabannya nggak akurat karena hal itu dulu dinyatakan hoax. Si penyebar hoax ditangkap polisi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...