Hari ini Kompas berulang tahun ke-60. Buat merayakan ultah, Kompas yang biasanya hadir dengan 16 halaman, sebagai 'hadiah' istimewa bagi pembacanya, terbit edisi khusus 60 halaman. Selamat ulang tahun yang ke-60, ya, Oom Pasikom!
Di waktu merayakan ulang tahun ke-50 alias ulang tahun emas, Kompas juga menerbitkan edisi khusus 100 halaman. 10 tahun lalu, kendati disrupsi media mulai terasa riaknya, namun belum mengguncang, koran-koran besar masih kuat teruskan pelayaran.
![]() |
| Koran edisi khusus 60 halaman dalam rangka merayakan HUT ke-60 Kompas |
Tapi, pada akhirnya riak yang semula kecil berubah menjadi gelombang besar, tak pelak koran-koran besar mulai bertumbangan satu per satu. Berhenti terbitkan koran cetak jadi pelampung keselamatan. Memutar haluan berlayar di perairan media digital.
Meriasi wajah dengan mengganti dari koran cetak menjadi koran digital tak urung dilakukan koran-koran besar dengan keterpaksaan (sebagai suatu keharusan) demi pemertahanan keberadaan, tidak kehilangan muka karena mati terpaksa, selamanya.
Kompas menunjukkan jati dirinya sebagai koran yang kuat menantang zaman. Di samping turut dalam arus perubahan, ikut mengisi ceruk bisnis media online dengan identitas Kompas.com dan Kompas.id, tetap menerbitkan koran cetak meski cuma 16 halaman.
Kompas yang saya kenal saat bersekolah SMA di Jogja masih saya setiai hingga sekarang. Pernah langganan khusus edisi Sabtu dan Minggu demi membaca puisi, cerpen, kolom, dan rubrik khas seperti "udar rasa" dan "parodi" dan lain-lainnya.
Kini, Kompas cetak terbit hanya dengan 16 halaman dan pada edisi Sabtu tidak lagi mengusung puisi, dialihkan ke Kompas.id, hanya bisa diakses dengan berlangganan koran digital itu. Edisi Minggu masih ada cerpen, udar rasa, TTS, dan kartun 'sarkastis'.
Rubrik "parodi" dihilangkan seiring ditinggal penulis tetapnya, Samuel B. Mulia, berpulang menghadap Tuhannya di Surga pada 25 Juni 2022. Harga koran mau tak-mau harus naik sehubungan meroketnya harga komponen cetak, jadi mikir untuk tetap beli.
Samuel Budiawan Mulia, seorang perancang busana, konsultan merek, penulis masalah gaya hidup di koran dan majalah. Ia pengampu rubrik "parodi" di harian Kompas selama 17 tahun, sejak 2005 hingga ia meninggal. Tulisannya menyuarakan kritik sosial.
Akhirnya, hanya membeli secara temporal. Tempo beli, tempo nggak, tapi agaknya lebih banyak nggak. Sehingga koran yang saya setiai sejak SMA itu akan menjadi klangenan saja. Yah... sebuah keniscayaan, setelah pangsiun nihil pemasukan, tinggal mantab.
mantab = mangan tabungan
❤️

Komentar
Posting Komentar