Langsung ke konten utama

FSY, dari Even ke Even

Ahai... kembali Festival Sastra Yogyakarta (FSY) ditaja. Tahun ini kali yang keempat. Pertama digelar tahun 2022 dengan tema mulih. Kedua, 2023 bertema sila. Ketiga, 2024 bertema siyaga. Keempat, 2025 ini bertema rampak. Dua kali saya ikut, di even kedua dan ketiga, belum beruntung kedua-duanya. Tahun ini mau mencoba lagi. Apa pun hasilnya nanti.

Karena sudah pernah dua kali ikut, maka secara tidak langsung identitas diri sudah tercatat dalam brankas data panitia. Pasalnya, Seksi Bahasa dan Sastra Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, mengirim WhatsApp kepada saya, mengundang partisipasi saya pada even Sayembara Puisi Nasional berhadiah total 10 juta itu.

Yes, "Hari Makin Senja", buku kumpulan puisi terbaru saya diterbitkan oleh Madani Kreatif Publishing yang beralamat di Depok, Sleman, Jogja. Tentu ada paling tidak 1 eksemplar buku, diserahkan ke Perpustakaan Daerah Kota Yogyakarta yang nantinya bisa dibaca pengunjung, baik untuk dibaca di tempat maupun dipinjam untuk dibawa pulang dan dibaca di rumah.

Antologi Puisi Penyair Membaca Indonesia "Swara-Swara Anak Pulau -- Ahli Waris Sah RI"

Kemarin telah tiba satu buku antologi puisi "Penyair Membaca Indonesia seri ke-7 dan produksi ke-17 Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dengan tajuk "Swara-Swara Anak Pulau -- Ahli Waris Sah Republik Indonesia." Even nubar (nulis bareng) puisi bertema 'anak pulau' ini dikuratori Octavianus Masheka dan Andi Mahrus. Diterbitkan penerbit Taresia, Jakarta.

Tadi malam pukul 22.50 telah melesat 3 judul puisi bertema "pohon dan lingkungan hidup" untuk even nubar yang ditaja Komunitas Kemala Persada Sastra. Nama saya langsung dicatat panitia di daftar peserta, nangkring di urutan 46. Satu even lagi di komunitas ini, nubar puisi bertema "Terang Bulan Tepi Laut."

Saya gercep menulis sejak pagi, sehingga membuat tulisan untuk posting pada blog ini dinomor duakan, mendahulukan menulis puisi senyampang ngopi dan ngemil pisgor dan tabut. Satu puisi bertema "bulan" langsung jadi, sementara yang bertema "laut" dalam tarap penyelesaian, terjeda istirahat salat zuhur.

Kendati selesai pun, masih akan saya edit ulang. Puisi naratif adalah genre yang lebih suka saya pilih dalam menulis karya. Lurus-lurus saja, tidak terlalu banyak belokan apalagi sampai jungkir balik alur ceritanya. Jika laut, ya, yang ada di sekitarnya sajalah. Mengapa gunung yang bersalju ditarik-tarik untuk ikut serta? Rasanya kejauhan. Ombak, angin, klomang..... cukup.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...