Langsung ke konten utama

Kuliner Kaki Lima

Pengunjung angkringan antre menyodorkan menu pilihannya untuk dibakar/dipanggang.

Rumah Makan Padang (Warung Padang) agak terseok menahan gempuran nasi ayam geprek gerobakan kaki-5 seharga 8 ribuan, kini datang serbuan Warung Tegal yang mulai mengepung di sekujur ruang publik Kota Bandar Lampung.

Tak urung Rumah Makan Padang skala mini semakin terhuyung-huyung jadinya. Ini tidak berbicara tentang RM Padang skala besar yang tergolong berjejaring. Untuk mereka tentu bukan tandingan bagi ayam geprek 8 ribuan.

Warung Tegal (warteg) berjenama Kharisma, Bahari, dan lainnya memang tersohor di mana-mana. Tidak hanya di daerah asalnya, tetapi juga di daerah lain seantero Nusantara. Apatah lagi di DKJ (Daerah Khusus Jakarta).

Warteg digandrungi pelanggannya bukan lantaran banyaknya menu yang bisa dipilih saat makan, melainkan harganya yang ramah kantong rakyat. Harga merakyat itu strategi dagang pengusaha warteg di mana-mana.

Yang sudah cukup lama menggerus eksistensi RM Padang atau sering disebut Warung Padang saja adalah Seblak. Menjamurnya gerai Seblak membuat tingkat lakunya Warung Padang menurun drastis secara perlahan.

Seblak dan ayam geprek 8 ribuan yang sudah berkibar, kini diikuti kehadiran angkringan a la Jogja telah menjadi kuliner kaki lima yang digandrungi para muda-mudi Kota Bandar Lampung. Ada yang menyuguhkan live music.

Cobalah menyususri Jalan Teuku Umar selepas RS Advent, Anda akan mendengar suara musik minus one dari wireless yang lagunya diisi oleh penyanyi (cowok ataupun cewek) dengan mengikuti irama lagu dari penyanyi aslinya.

Ada juga yang berupa band yang dimainkan sekelompok pemusik indie lokal yang biasa tampil di kafe-kafe. Nah, ini yang lebih seru. Pengunjung angkringan tentu terhibur dong, tak terasa menu terhidang ludes disantap.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...