Mimpi, Menulis, dan Bacaan
![]() |
Ilustrasi, Buku LMCR 2013. |
Melanjutkan postingan
kemarin, Lomba Menulis Cerita Remaja (LMCR) pertama (2011) membuat para juri
terkejut. Seperti diakui Agus R. Sarjono, salah satu dewan juri, saat kali pertama
membaca dan menilai karya para peserta LMCR, ia terkejut: “Anak-anak remaja
Indonesia ternyata dapat menulis dengan menarik, lincah, dan bahkan otentik,”
ujarnya.
Karena itu, beberapa
juri sempat ragu, benarkah karya-karya tersebut ditulis oleh anak
SMP/sederajat? “Jangan-jangan itu bukan karya mereka melainkan karya guru atau
orang tua mereka. Keraguan semacam itu masuk akal, di tengah cukup seringnya
kita mendengar berita tentang penjiplakan karya sastra termasuk karya ilmiah,”
lanjut Agus.
Agus R. Sarjono tidak
heran pada keraguan teman-teman jurinya. Jangankan anak remaja, di kalangan
perguruan tinggi pun penjiplakan (plagiarism) dilakukan segelintir mahasiswa
bahkan dosen yang mengajar mereka. Namun, dengan segera baik Agus maupun
juri lain dapat merasakan, sebuah cerita apalagi karya sastra tidak mudah
berbohong.
Membaca sekilas dua
buku yang saya pergoki di tumpukan buku saat beberes, saya pun merasa terkejut dan yakin tidak mungkin
karya mereka ditulis oleh guru atau orang tua. Tentu saja alam pikiran guru dan
orang tua berbeda jauh dengan anak remaja peserta LMCR tersebut. Tema tulisan anak
remaja itu tentang dunia yang mereka kenal dengan baik.
Setelah kembali menilai
karya peserta LMCR kedua (2012), Agus Sarjono dan teman-teman jadi yakin
akal pikiran anak remaja Indonesia makin maju. Jumlah peserta lebih banyak
dan ceritanya lebih beragam. Makin banyaknya jumlah peserta LMCR menunjukkan bahwa
kemampuan dan kegemaran menulis itu diam-diam cukup merata di kalangan siswa
SMP.
Ruang
Imajinasi
Sandra
Debora, seorang peserta LMCR ketiga (2013), mengaku
bahwa bicara soal menulis sama halnya bicara soal jiwa. “Bagi saya, menulis
adalah jalan penyatuan; tempat persinggahan mimpi-mimpi yang saling
bersilangan. Menulis berarti membuka jendela baru. Menciptakan dunia baru. Menjadi
Tuhan bagi cerita yang hendak kita sempurnakan. Menulis berarti bermimpi;
menari-nari dalam memori, melangkah dalam ruang imajinasi.
Saya suka bermimpi,
sebab itu saya suka menulis. Awalnya saya hanya iseng saja menulis, tapi entah
bagaimana, saya merasa dunia menulis itu lebih bersuara. Lebih merdu. Lebih mengajari
saya kesabaran; bagaimana membaca perasaan-perasaan yang seringkali terabaikan.
Melalui tulisan, saya bisa berteriak sebebasnya. Bisa melantangkan opini saya. Bisa
mengenali bagian dari diri saya, yang selama ini mati tertimpa
kebohongan-kebohongan saya sendiri.”
Komentar
Posting Komentar