Langsung ke konten utama

Tentang Suatu Ketaatan

Ilustrasi, foto: Lektur.ID

Setelah dua minggu diekspos, apa kabar varian baru Covid-19 Omicron EG.5.1 alias Eris? Kok, tidak ada update perkembangannya. Seberapa banyak orang yang mengalami dan seperti apa cara penanganannya.

Siang tadi saya mengantar istri ke RS Bumiwaras, Bandar Lampung, untuk kontrol. Tangan kanannya bermasalah. Tidak lagi leluasa untuk digerakkan. Kata dokter syaraf, ada pengapuran antara tulang dan otot.

Obat yang diberikan dokter telah habis, pengin kontrol. Kata dokter kala itu, jika obat habis tetapi belum ada perubahan, maka akan disuntik. Tadi, pikir istri sudah langsung akan disuntik, ternyata dikasih obat lanjutan.

Jatah obat untuk satu minggu ke depan. Sudah dikasih resep obat suntik, tetapi belum ditebus di apotek. Kata dokter, coba dulu obat ini. Jika masih belum sembuh, maka suntik sebagai alternatif terakhir, dieksekusikan.

Saya lihat pegawai-pegawai RS yang melayani pasien dan terutama dokter di ruang praktik serta penerima resep dan peracik obat di bagian instalasi obat (apotek), semuanya taat mengenakan masker. Wow, luar biasa.

Suatu ketaatan yang dijalankan dengan ketat. Bukan karena faktor Covid-19 yang sudah berlalu, melainkan faktor kesetiaan terhadap peraturan sebuah institusi. Penggunaan masker adalah protokol kesehatan utama.

Yang dahulu–di masa Covid-19–didengung-dengungkan untuk ditaati oleh siapa pun. Sebagai bagian dari 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan menjaga jarak). Masyarakat pun patuh.

Bukan hanya di RS Bumiwaras, di kampus, mal, pasar tradisional, dan jalanan, saya perhatikan masih banyak juga orang menggunakan masker. Di DKI Jakarta yang sedang polusi udara, juga dianjurkan untuk bermasker.

Tentang suatu ketaatan di dalam masyarakat, agak membingungkan untuk menilainya. Terobos lampu merah dan melawan arus, adalah dua peristiwa yang begitu mudah dijumpai. Di mana pun di negeri kita.

Di mana letak masalah? Pada kesadaran diri individu. Dalam hal tertentu, masyarakat mudah menantinya karena memiliki kesadaran yang tinggi, memiliki etika sehingga tahu diri. Hanya sedikit individu seperti itu.

Kebanyakan kesadaran yang rendah, tidak beretika, sehingga tidak tahu diri. Akibatnya, dalam hal lainnya, masyarakat mudah melanggar. Terobos lampu merah dan melawan arus adalah contoh kecil, tetapi nyata.

Tahu diri penting dimiliki seseorang agar bisa menjaga martabat di dalam ruang sosial. Sayangnya, tidak ada institusi pendidikan yang mengajarkan ilmu tahu diri. Karena itu, untuk tahu diri harus belajar sendiri.


#RenunganDi RumahSakit


Baiklah sejenak menghibur diri dengan lagu Tahu Diri Maudy Ayunda dari Trinity Optima Production:

https://www.youtube.com/watch?v=E5QAO93TVE0


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...