Langsung ke konten utama

Workshop Zonder Kopi

Alhamdulillah bisa mengikuti workshop penulisan esai di Gedung Dewan Kesenian Lampung siang tadi. Bertemu dengan penulis yang esai mereka sama-sama lolos masuk 15 besar. Mendengar empat narasumber yang hebat-hebat. Dan, yang lebih menyenangkan bertemu berhadap-hadapan dus berinteraksi dengan Bang Afrizal Malna, penyair yang saya kenal namanya melalui koran ibu kota, yang saya mamah dengan nikmat karya-karyanya, puisi, cerpen maupun esai.

Semula sempat terpikir bisa nggak, ya, mengikuti acara workshop? Pasalnya, Kamis pagi saya dilanda demam. Tidak panas benar, hanya sekadar hangat. Tetapi, yang membuat lebih was-was karena Jumat sejak subuh BAB hingga tiga kali, agak mencret. Dua tablet obat diare saya telan agar keinginan BAB tidak melaju lebih lanjut ke arah diare sesungguhnya. Usai salat Jumat saya gegas ke PKOR, tempat acara berlangsung. Narasumber, panitia, kru serta sebagian peserta siap di ruangan.

Semula saya agak berkeringat, memang itu yang saya inginkan agar suhu badan yang hangat bisa turun dan normal. Tetapi, tidak lama keinginan berkeringat justru lesap dan anget badan tetap di tempatnya. Terpikirkan bila keadaan darurat demam meninggi, saya mungkin tidak bisa mengikuti acara workshop hingga selesai. Alhamdulillah berangsur stabil, saya bisa mengikuti workshop tadi. Bang Afrizal Malna tampil pertama kemudian sesudahnya disusul narasumber berikutnya.

Bang Iwan Nurdaja Djafar dan Udo Z karzi mengisi waktu tersisa sebelum rehat Asar. Usai rehat kembali Bang Afrizal Malna memungkasinya dengan latihan menulis esai. Wah, ini benar-benar tantangan yang mengejutkan. Betapa tidak mengejutkan, para peserta diminta mengeksplorasi perangkat properti yang ada di dalam ruangan untuk membuat narasi tentang dimensi waktu, tetapi tanpa menggunakan kata waktu yang berkaitan dengan hari, jam, dan apa pun penegasnya.

Wah, mau nulis apa, ya? Dimensi waktu tanpa kata jam, siang, malam, dll. Saya menulis seperti berikut, “Keberuntungan itu tidak pernah mengetuk pintu. Meski sudah tahu sebelumnya akan ada narasumber hebat-hebat di acara workshop penulisan esai, saya merasa benar-benar tercerahkan ketika bisa bertemu berhadap-hadapan dengan Bang Afrizal Malna, penyair yang namanya saya temukan di halaman sastra koran ibu kota. Maka, bagi saya betapa berharganya waktu.”

Usai peserta membaca masing-masing karya spontan mereka, Bang Afrizal Malna menilai hanya satu penulis yang memenuhi kaidah dimensi waktu, yaitu tentang air yang dilanda perubahan zaman. Dahulu untuk meminum air, kita harus merebus terlebih dahulu. Di masa kini air minum tersaji dalam kemasan botol dan terhidang di hadapan kita dalam berbagai acara. Seperti, seminar, workshop, arisan, pesta, kenduren, riungan baik di rumah maupun di hotel berbintang.

Terakhir tampil memungkasi acara workshop adalah Yuli Nugrahani, sekretaris komite sastra DKL yang cerpenis dan penyair Lampung. Dia menguraikan tentang esai, penulisan kreatif, dan kritik terhadap karyanya yang dikatakan ‘sampah’ oleh penyair AYE. Lalu kata dia, ada masa inkubasi bagi peserta yang lolos 15 besar untuk merevisi karya esai mereka, dari 6 hingga 13 Agustus. Pukul 24:00 pada 13 Agustus itu karya hasil diedit harus sudah dikirm ulang ke panitia.

Wah, mendengar kata inkubasi, jadi terpikir penyakit demam berdarah dengue yang di masa inkubasi itu justru masa rawan. Jika tidak hati-hati dan bisa melewati fase kritis di masa inkubasi tersebut, maka alamat akan tamat riwayat kehidupan. Dan, demam yang bikin badan hangat menimbulkan ruam merah-merah di bagian perut dan punggung seusai salat Isa tadi. Pukul 01:00 saya terjaga, demam menemani saya di larut malam. Ya, sudah, baiknya saya menulis saja.

Dan, workshop tadi… begitu mengasikkan. Sayangnya, zonder suguhan kopi.

 

Kemiling Permai, 5 Agustus 2023 | 02:58 |


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kursi Roda Ibu Ani

Kursi roda Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY menungguinya di rumah sakit. Bagaimana bisa melahirkan novel yang menceritakan perjuangan penyintas kanker seperti di buku “Seperti Roda Berputar” tanpa mengikuti proses dari mula hingga kini? Pertanyaan itu yang bersarang di pikiranku. Sewaktu mudik ke Pacitan 21 Mei hingga 3 Juni 2024, kami mengeksplor Museum dan Galeri SBY-ANI. Satu foto memperlihatkan kesetiaan Pak SBY menunggui Ibu Ani di National University Hospital Singapura. Foto Ibu Ani duduk di kursi roda sementara Pak SBY duduk di tepi hospital bed yang biasa Ibu Ani tiduri selama dirawat. Kaki Pak SBY menjuntai. Foto menggambarkan keduanya berhadap-hadapan sambil berbincang akrab. Saya sebenarnya penasaran, apakah Pak SBY menulis buku tentang masa-masa Ibu Ani dirawat hingga wafat. Seperti yang dilakukan Pak BJ Habibie, pasca-meninggalnya Ibu Ainun Habibie, Pak Habibie dilanda demam rindu. Guna memadamkan kerinduan kepada Ibu Ainun itu, Pak Habibie mulai menuangkan perasaan...

Sastra Jalan-jalan

Siang baru saja melanjutkan perjalanan menuju barat, setelah istirahat sejenak di waktu zuhur, yang ditandai Matahari tepat di atas kepalanya. Tak lama sekira pukul 14:12 Kakang Paket datang mengantarkan kiriman buku dari Taman Inspirasi Sastra Indonesia. Komunitas sastra disingkat TISI pimpinan Bang Octavianus Masheka, ini baru saja usai merampungkan proses produksi dan terbitnya buku antologi “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” yang merupakan puisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah masing-masing penulisnya. Buku-buku yang joss tenan Ada 100 orang penulis puisi dwi bahasa yang terhimpun di dalam buku bersampul merah menyala dengan gambar sampul siluet wajah Ibu yang di wajah, leher, dan dadanya dihiasi taburan wajah penulis puisi yang sengaja di- crop tertinggal bagian dada dan kepala saja. Sebelum buku “Bahasa Ibu, Bahasa Darahku” terlebih dahulu tiba di rumah buku “Zamrud” yaitu antologi puisi Dari Negeri Poci seri ke-15 yang saat datang kebetulan saya sedang tidak berada di rumah ...

Jangan Sakit Deh

“Jangan pernah sakit. Teruslah sehat dan berbahagia. Sakit itu sepi, menyakitkan, dan tentu saja mahal.” (Rusdi Mathari). Demikian terbaca di buku “Seperti Roda Berputar: Catatan di Rumah Sakit.” Buku merangkum catatan Rusdi Mathari yang menderita kanker saat-saat menjalani perawatan dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Sebenarnya Rusdi Mathari pengin menulis novel tentang sakit yang ia derita dan bagaimana ia mengupayakan kesembuhan dengan menjalani rangkaian pengobatan secara runtut tahap demi tahap. Dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain silih berganti, ditangani dokter berbagai spesialis yang berkaitan dengan sakit kankernya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Rusdi Mathari meninggal di Jumat pagi, 2 Maret 2018. Novel yang ceritanya ia bayangkan akan demikian kompleksitas sekaligus melankolis tidak terwujud. “Seperti Roda Berputar” hanyalah memuat sebagian catatan di rumah sakit yang sempat ia tulis dan terbit di Mojok.co. Pemerintah menghapus kelas 1,...